Belasan mayat bergelimpangan di lantai ruangan remang-remang bekas pabrik konveksi. Busana semuanya mirip, celana jeans dengan kemeja yang dilapisi jaket. Pencahayaan minim. Hanya ada dua lampu cas berukuran sedang yang ada di genggaman dua jasad dekat radio, beradu dengan cahaya lilin di ujung ruangan.
Mereka polisi. Tubuh-tubuh malang itu adalah hasil pertempuran di dalam gedung berhawa dingin. Tidak ada darah. Semua sama tewas dalam keadaan tubuh bersih dari luka.
Sementara ada dua orang tersisa dan masih bernapas. Salah satunya adalah lelaki kekar berkumis tebal, berdiri mengarahkan pistol ke target.
Di depan sana, seorang pria gondrong berpakaian serba hitam berdiri menyeringai angkuh di dalam lingkaran pentagram cahaya lilin dan taburan kelopak bunga seroja. Penyihir. Dialah pelaku pembantaian di ruangan itu.
“Alfi, pergi!” perintah polisi berkumis.
“Tapi, Letnan ...,” protes pria yang lebih muda.
“Salah satu dari kita harus menahan bajingan itu. Pergi!”
Alfi tidak bisa membantah. Polisi berwajah kotak itu kemudian berbalik dan segera berlari menuju tangga. Namun, si penyihir tampaknya belum puas bermain dengan nyawa mereka. Angin berembus. Si penyihir mengulurkan tangan, lalu tubuh mengeluarkan cahaya merah yang perlahan merambat memenuhi ruangan.
Kaki Alfi terangkat dari anak tangga dan tenggorokannya tercekat. Ia melayang. Tubuh Alfi dibentur-benturkan ke tembok bersamaan dengan penyihir yang tertawa riang.
DOR!
Satu tembakan dilepaskan sang Letnan ke arah penyihir. Bidikannya tepat. Sayang sekali kekuatan penyihir itu mampu menahan laju pelor di udara, bahkan bisa membaliknya hingga menembus bahu Alfi yang tak bisa berteriak.
Letnan masih bisa mendengar pekikan Alfi yang tertahan. “Alfi!”
Penyihir terkekeh puas. Selanjutnya yang ia lakukan adalah melepas kekangan Alfi, membiarkan lelaki berkulit kuning langsat itu terjatuh terguling-guling menghantam anak tangga.
Ketika tiba di lantai bawah, Alfi merangkak merintih kesakitan. Pelipisnya berdarah. Bahunya apa lagi. Sebelum berhasil meraih pintu, ia masih sempat mendengar tawa menyeramkan penyihir beradu dengan teriakan sang Letnan menyebut nama Tuhan disusul tiga letusan pistol.
Setelah itu hening. Alfi bangkit, menoleh ke arah lantai atas, menerka bagaimana nasib dua manusia yang sedang berduel. Cahaya merah perlahan padam. Alfi mengernyit ketika mendengar musik menggema.
Jika kau mendengar hatiku
Berbisik memanggil namamu
Bayangmu seakan menjelma
Nyata walau jarak memisahkan
Lagu itu terdengar seperti dari era 2000-an awal. Alfi bergidik. Ia tidak ingin membuang waktu dan nyawa demi mencari tahu kelanjutan lagunya. Titah terakhir Letnan harus dilaksanakan.
***
Cahaya matahari pagi menyerbu bersamaan dengan dibukanya gorden jendela kamar. Anginnya sejuk. Menenangkan. Perempuan itu masih dalam mukena putih yang ia pakai salat subuh. Ini belum cukup. Ia kemudian keluar bertengger di besi balkon. Mata monolidnya menyapu pemandangan sepi jalanan kompleks yang basah setelah diguyur hujan semalam.
Dering ponsel di dalam kamar mengganggu ketenangan paginya. Ia menengok. Wajah segitiga itu tidak tampak jengkel. Lebih ke datar karena memang tidak ingin melakukan interaksi. Namun, smartphone tentu akan terus bersuara hingga ia mengambil tindakan.
“Halo?”