Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #3

Teror

Dua petunjuk sudah ada di tangan Alfi, yaitu musik dan lingkaran garam. Namun, itu belum mengungkapkan apa pun. Alfi berpikir keras. Sudah ada dua korban di hari dan tempat berbeda. Ia belum bisa menemukan pola serangan sang penyihir, maka sulit menyimpulkan titik serangan mendatang.

Alfi sadar waktu terus berjalan dan bisa saja pelaku mengambil korban lagi. Namun, ini sukar. Akan sia-sia bergerak tanpa petunjuk memadai. Baru saja Alfi bersiap meninggalkan kantor, ponselnya berbunyi. Dari Komandan.

“Bagaimana kelanjutan dengan Sa’diyah?”

“Dia sempat datang ke sini untuk diskusi, Komandan. Tapi sepertinya dia memang tidak minat bergabung.”

“Begitu, ya? Baiklah, kalau begitu kamu ke rumah Letnan Aziz sekarang. Temui Sa’diyah untuk minta maaf. Bagaimanapun juga dia masih berkabung, tapi kita malah memintanya masuk Divisi Astral.”

“Siap, Komandan.” 

Telepon ditutup. Saat itulah Alfi menyadari sepertinya ia memang mengatakan sesuatu yang salah sehingga pertemuan pertama dengan Sa’diyah meninggalkan kesan tidak terlalu bagus. Alfi pun mengendarai motor bebeknya menuju tempat tinggal Letnan Aziz. Lumayan jauh. Butuh sekitar 45 menit untuk menjangkau kompleks area pinggiran kota di mana rumah keluarga polisi itu berada.

Seingat Alfi, ia pernah mengantar Letnan Aziz pulang, tapi hanya sampai depan gerbang kompleks. Cuma sekali. Polisi berkumis tebal itu melanjutkan ke rumah dengan berjalan kaki. Makanya Alfi tidak tahu yang mana tempat tinggal sang Letnan.

Sekarang sudah lewat jam sembilan malam. Kompleks diterangi lampu jalan dan cahaya dari teras rumah warga. Namun sunyi. Alfi sebenarnya ragu apa harus melakukan ini sekarang, tapi ini perintah Komandan. Tak ada pilihan lain bagi Alfi kecuali terus melaju sambil menoleh ke rumah-rumah sekitar. Tidak harus mengundi. Seharusnya karangan bunga dukacita masih terpajang di depan kediaman Letnan Aziz. Sepeda motor Alfi terus melaju pelan. 

Alfi salah menduga. Sa’diyah telah menyingkirkan karangan bunga itu lima hari setelah kematian ayahnya. Keberuntungan belum berpihak kepada Alfi yang lewat begitu saja di depan rumah sang letnan.

Sementara Sa’diyah juga tak terlalu memperhatikan lewatnya Alfi karena sedang terheran di ambang pintu. Awalnya ia masih berpikir positif. Ayahnya bukanlah polisi terkenal, mustahil punya musuh besar yang mau repot mengirimkan bom dalam wujud radio. Itu terlalu iseng. Pikiran positif itu mulai buyar ketika lampu teras rumah Sa’diyah berkedip-kedip.

Angin merayap menyentuh kulit telapak tangan Sa’diyah. Bau harum yang aneh menyeruak ke dalam hidungnya. Radio berbunyi. Sebuah lagu dari era 2000-an terputar.

Di sini ... sendiri jauh darimu

Kulewati ... malam sepi menghujam

Ini jelas tidak beres. Sa’diyah yang masih skeptis kini merogoh pistolnya. Tidak ada. Senjata itu ia letakkan di meja ruang tamu. Bulu kuduk Sa’diyah berdiri, menuntunnya masuk ke dalam ruang tamu untuk mengambil pistol.

Buru-buru Sa’diyah mengambilnya. Namun, saat mengangkat wajah hendak kembali ke pintu, perhatian Sa’diyah lagi-lagi direbut oleh objek kecil terang di dekat tangga yang lampunya belum menyala. Ia terpaku. Membasahi kerongkongannya karena gemetar melihat sebuah lilin menyala di sana. Ada putih-putih di sekeliling lilin yang Sa’diyah yakini adalah garam.

Sa’diyah mengokang pistol. Berjalan pelan menuju lilin dengan senjata di posisi siaga. Napasnya senyap. Tegel lantai dingin. Semakin menusuk ketika kian dekat dengan remangnya area tangga. Pistolnya diacungkan. Sa’diyah diam beberapa saat, lalu menurunkan senjatanya karena tidak ada siapa-siapa di sana.

Sa’diyah bernapas lega. Untuk sekarang lebih baik memanggil bantuan rekan-rekan penyidiknya. Ia meraba saku. Kemudian merasa bodoh karena lagi-lagi meletakkan smartphone-nya di meja. Sa’diyah berbalik. Ia tersentak. Seseorang berdiri di ruang tamu.

Lihat selengkapnya