Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #4

Petunjuk

Sudah tiga hari sejak serangan penyihir di rumah Letnan Aziz. Seperti biasa, para polisi di markas sibuk dalam rongrong jam kerja. Berisik. Di ruangan cukup kedap suara milik sang komandan, Sa’diyah yang memakai kemeja putih dan jaket cokelat muda menghadap.

“Saya minta maaf,” ucap Komandan, “pasti kamu merasa tidak nyaman berhadapan dengan Alfi.”

Sa’diyah tersenyum. “Justru saya harus berterima kasih, Komandan. Andai Komandan tidak mengirim Pak Alfi, mungkin nyawa saya sudah tak tertolong.”

Lelaki paruh baya itu mengangguk. “Kalau begitu, sekarang bagaimana? Kamu masih boleh menolak bergabung dengan divisi itu.”

“Tidak apa-apa, Komandan. Saya akan bergabung.”

Pernyataan itu Sa’diyah buktikan dengan mendatangi kantor Divisi Astral. Alfi menyambutnya. Seperti saat pertama bertemu, si polisi berkulit kuning langsat mengeluarkan lelucon receh. Kali ini Sa’diyah tertawa hingga gigi taringnya tampak.

“Pak Alfi, boleh saya lihat berkas kasus pabrik konveksi?”

Alfi tak menaruh curiga. Pria tegap berkemeja magenta itu membuka laci, lalu mengeluarkan map merah. Sa’diyah menerimanya. Sang polwan berjilbab memeriksa berkas cukup lama. Tidak melihat pada lembaran forensik, melainkan Sa’diyah hanya lebih konsentrasi pada foto-foto korban. Dari gerakan mata sang polwan, Alfi tahu foto yang jadi fokus adalah jasad kering Letnan Aziz. 

“Jadi, apa yang membuat kamu berubah pikiran?” tanya Alfi mengalihkan topik.

Sa’diyah meletakkan map di meja lalu tersenyum. “Mungkin karena ini pekerjaan yang menarik.”

Ponsel Alfi berdering menginterupsi pembicaraan. Alfi mengangkatnya. Seorang anggota Divisi Astral melaporkan kasus serangan supernatural di sebuah restoran Jepang. Setelah telepon ditutup, polisi berwajah kotak itu menatap Sa’diyah, memberi isyarat untuk melaksanakan panggilan tugas.

Dengan kendaraan masing-masing, Sa’diyah dan Alfi tiba di lokasi kejadian setelah sepuluh menit. Restoran Jepang. Di parkiran, Alfi masih sempat melawak tentang bagaimana ia tidak mengerti konsep makan sushi. Sa’diyah kembali tertawa.

Namun, Sa’diyah terheran karena ketika masuk, restoran itu tetap beroperasi. Alfi celingak-celinguk hingga menemukan salah satu anggotanya di depan pintu dekat pojok ruang makan. Mereka mengangguk. Saling memberi kode agar tak menimbulkan kecurigaan pelanggan restoran.

Seraya menuju TKP, Sa’diyah bertanya, “Anggota divisi ini ada berapa banyak, sih?”

“Sebelum kamu bergabung, ada 26 orang termasuk Letnan Aziz. Terus tinggal setengahnya.”

Pintu dibuka. Alfi dan Sa’diyah melewati dapur dan terus ke pantry di belakang. Mereka bingung ketika diberitahu bahwa tidak ada korban meninggal. Di tengah ruangan, seorang lelaki juru masak restoran bertubuh agak kurus duduk menerima penanganan medis. Dia korbannya.

“Kejadiannya cepat, Pak. Saat mau periksa kompor, saya melihat lilin dan garam di pojok ruangan. Pas saya periksa, tiba-tiba ada tangan mau mencekik dari belakang. Untung saya refleks cepat-cepat menghindar.”

Dari keterangan si juru masak juga didapatkan bahwa kejadiannya sekitar jam enam pagi. Restoran Jepang itu buka sekitar jam delapan, dan sudah wajar jika staf mendapat sif melakukan persiapan sebelum pelayanan. Misteri baru muncul. Waktu serangan tidak sama seperti yang tiga sebelumnya.

Lihat selengkapnya