Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #5

Mengepung

Alfi dan Sa’diyah tidak ingin membuang waktu dengan kembali ke kantor divisi. Mereka menunggu. Sudah hampir satu setengah jam kedua polisi itu berdiri di pinggir jalan. Hingar bingar kesibukan kota di malam hari bagai detak jarum jam di telinga Alfi dan Sa’diyah.

Ponsel Alfi membunyikan notifikasi pesan dari anggota Divisi Astral lain. Daftar lokasi. Haji Ghani memiliki total 23 titik tanah dan bangunan atas namanya di dalam kota. Setelah sebelumnya mendengar teori Sa’diyah tentang empat elemen, Alfi memberi isyarat untuk ke tempat selanjutnya.

Gudang tangki oksigen mewakili udara. Tanah kosong berfungsi sesuai namanya. Panasnya dapur restoran Jepang melambangkan api. Maka titik berikutnya pasti berhubungan dengan air. Serangannya bergantian. Jika gagal di elemen sebelumnya, akan dilakukan penyerangan di lokasi berelemen lain.

Toko es kristal. Ini adalah satu dari tiga titik yang kemungkinan jadi lokasi serangan mendatang. Alfi sudah memberi instruksi pada rekan lain untuk memeriksa dua titik tersisa. Alfi masuk. Bersama Sa’diyah, dua orang tambahan Divisi Astral, dan pemilik toko, mereka mulai menelusuri bagian dalam.

Belum ada tanda-tanda penyihir telah mengunjungi tempat itu. Wajar. Pola serangan adalah satu-tiga, yang berarti setelah melakukan serangan pagi ini, penyihir baru akan beraksi besok. Atau bisa saja aksinya dilakukan pada salah satu titik lain.

“Maaf, Pak,” ucap lelaki paruh baya bermata sipit pemilik toko, “saya masih bingung kenapa toko saya digeledah.”

Alfi bertanya, “Bapak lihat ada orang lain masuk ke sini?”

Pria itu menggeleng. “Selain anak dan istri, ya cuma saya.”

Sementara Sa’diyah terlihat belum puas. Toko itu memiliki dua lantai, dan Sa’diyah mengajak yang lain memeriksa lantai atas, termasuk kamar-kamar. Benar saja. Ketika menyalakan lampu di kamar yang selurus dengan penyimpanan es lantai bawah, sudah terpasang garam bersama lilin belum dinyalakan.

Adalah wajar jika warga etnis Tionghoa terdapat ruangan dupa atau lilin. Namun, pemandangan di lantai kamar jelas bukan perbuatan sang pemilik toko. Bahkan si lelaki paruh baya bermata sipit merasa merinding melihat kehadiran dua objek sihir.

“Ini kamar mendiang mertua saya, Pak. Tapi saya tidak taruh itu!”

Alfi mengangguk tenang. “Saya tahu. Sekarang saya minta Bapak dan keluarga menginap dulu di tempat lain. Satu malam saja. Ini darurat.”

Tak butuh waktu lama meyakinkan sang pemilik toko. Ia beranjak. Bersama istri dan anak perempuannya yang masih remaja, mereka pun pergi dari tempat itu, menyisakan empat anggota Divisi Astral.

Polisi-polisi itu memeriksa setiap sudut serta akses memasuki rumah. Alfi dan wanita anggota baru divisinya ada di lantai atas. Sa’diyah diam. Sang polwan memeriksa kamar pemilik toko yang bersebelahan dengan kamar mendiang mertua tempat garam ditabur.

Alfi melirik Sa’diyah. “Sejauh ini teori kamu tepat. Terus, kenapa waktu itu rumahmu jadi targetnya?”

Sa’diyah tak menoleh. “Ayah pernah cerita kalau dulunya rumah kami bekas rawa.”

Alfi manggut-manggut lalu sekali lagi memandangi Sa’diyah. “Apa kamu memang yakin memang mau bergabung di divisi ini?”

Lihat selengkapnya