Mulut pistol mengeluarkan asap. Selongsong pelor tergeletak di lantai. Tak ada darah. Untung saja Alfi tepat waktu menepis tangan Sa’diyah, sehingga malam ini kepala si gondrong masih bebas dari lubang.
Anggota Divisi Astral yang lainnya hanya berdiri di tempat masing-masing. Hening. Si gondrong meringkuk di lantai dengan lutut berusaha menutup telinga. Alfi menatap tenang pada Sa’diyah yang mendengkus. Setelah memerintahkan salah satu anggota memeriksa keadaan tersangka, diajaknya polwan itu keluar toko.
Sesampainya di luar, masih juga Alfi tidak menunjukkan tanda-tanda suaranya akan meninggi.
“Sudah saya duga, ada yang aneh pas kamu ketawa sama lawakan saya. Kamu ini kenapa sampai mau bunuh orang seperti itu?”
Sa’diyah melotot. “Pakai nanya! Dia membunuh dua warga sipil, dan hampir bikin kita berdua bernasib sama. Sudah wajar dong, kalau kita menghabisi dia?”
“Tidak begitu caranya, Sa’diyah. Kita memang divisi kecil, tapi tetap berjalan sesuai prosedur. Mana bisa kita membunuh tersangka yang sudah jelas tidak berdaya seperti itu?”
Sa’diyah terkekeh. “Tidak berdaya? Dia membunuh TIGA BELAS polisi. Dia membuat Ayah jadi mayat kering!”
“Kamu dipanggil bergabung ke divisi ini bukan untuk ajang balas dendam,” kata Alfi sambil menggeleng.
“Saya bahkan gak dikasih tahu alasan kenapa saya harus bergabung!”
Perdebatan mereka terhenti karena lampu toko yang mendadak padam. Hanya toko itu. Listrik bangunan lain di sekitarnya tampak baik-baik saja. Alfi memeriksa sekring di luar dan menemukan tuasnya masih dalam keadaan menyala. Ia lalu memerintahkan anggota di dalam untuk mengecek sekring pengaman.
Tiga anggota lain Divisi Astral yang lebih paham listrik keluar dari toko, dan berusaha memeriksa sekring. Sama. Masalahnya tidak ditemukan. Dugaan sementara adalah arus pendek, yang bisa membahayakan toko dan berbuntut panjang.
Sa’diyah yang diam dengan wajah tak enak hati kemudian merasakan sesuatu tak beres ketika mendengar suara samar-samar dari arah jendela lantai atas.
Di sini ... sendiri jauh darimu ....
“Pak Alfi?” Sa’diyah panik. “Pak Alfi!”
Alfi menengok, lalu mendengar apa yang didengar oleh Sa’diyah. “Gawat!”
Mereka berlima hendak masuk, tapi pintu berjenis folding gate itu mendadak tertutup. Hampir saja badan Alfi terjepit.
Di dalam toko, sembilan anggota lain mengandalkan penerangan dari smartphone masing-masing. Mereka bersiaga. Tujuh pistol sudah diarahkan ke si gondrong sejak mereka mendengar alunan lagu Minoru menggema, sementara dua orang lagi berusaha mengatasi masalah dengan pintu.
Tak ada yang bergeming kecuali si ahli kunci. Si gondrong juga masih berlutut di tempatnya dengan tangan diborgol. Salah satu anggota berpistol mendekat memeriksa. Ia mengernyit. Cahaya senternya menyorot mulut si gondrong yang bergumam tak jelas.
Si ahli kunci mulai berkeringat karena sulitnya membuka pintu sementara keadaan kian mendebarkan. Si pemberi cahaya terus menyorot area kerja rekannya. Lagu masih terdengar. Si pemberi cahaya kemudian tak sengaja teralihkan oleh rekan-rekannya yang mengelilingi si gondrong di dalam remang.
“Oi, pegangnya yang bener, dong!” protes si ahli kunci.
Si pemberi cahaya tak menggubris. Ia malah mengeluarkan pistol setelah sadar jumlah rekannya kelebihan satu orang. Terlambat. Sosok tambahan itu sudah menggunakan kekuatannya untuk menghempaskan para polisi di sekitar si gondrong. Tidak salah lagi. Itu si penyihir.