Tidak ada yang salah di hari itu. Cerah. Seorang pria paruh baya kurus berseragam biru sedang mengarahkan tiga rekannya membawa kulkas baru ke dalam rumah. Tak jauh dari mereka, ada pasangan suami-istri muda mengamati proses kerja kurir. Layaknya iklan di televisi, sang istri yang bahagia bersandar di dada suaminya karena kulkas dua pintu itu adalah hadiah spesial.
Kabel kulkas dicolok. Lampu menyala tanda alat pendingin itu berfungsi dengan baik. Pria petugas pengantaran sekali lagi memastikan tidak ada yang rusak di depan pasangan pembelinya.
“Nah, Pak, kulkas ini garansinya lima tahun. Kalau ada apa-apa, Bapak tinggal telepon kami dan perlihatkan kartu garansi.”
Sang suami yang berbadan gempal tersenyum. “Oh oke, Pak. Terima kasih.”
Pasangan muda itu tak hentinya tersenyum puas mengantar tim berseragam biru keluar rumah. Klakson berbunyi. Mobil pikap pembawa barang beranjak meninggalkan suami-istri bersama kebahagiaan dari kulkas tiga juta rupiah.
Namun, layaknya kebahagiaan lain, selalu ada pihak yang memiliki rasa tidak puas. Dengki. Sepasang mata mengintip dari balik gorden, menatap tajam pasangan muda itu saling merangkul mesra masuk ke dalam rumah.
Malam pun tiba. Sunyi dan dingin menjadi kesempatan suami-istri itu menghabiskan waktu saling melempar canda di atas ranjang. Sebagaimana wanita ingin mengungkapkan rasa berterima kasih, sang istri langsing berambut pendek berniat memuaskan hasrat suaminya.
“Sebentar, Sayang, aku haus.” Sang istri kemudian beranjak keluar kamar, terus menuju dapur.
Hening. Bahkan kendaraan di luar sudah tak terdengar menjelang jam sebelas malam. Pintu kulkas dibuka dan kucuran air ke dalam gelas adalah dua pemecah kesunyian di dalam rumah. Setelah dahaganya hilang, sang istri bersiap kembali ke kamar. Namun, aneh. Ada suara lain mengisi kekosongan malam itu. Seperti suara barang diobrak-abrik. Dan suara itu datang dari arah kamar.
“Sayang, kamu lagi apa, si—” Perkataan itu terputus, berganti jeritan.
Ia menemukan suaminya menggeliat di lantai, kejang dengan bola mata memutih. Mulut suaminya bergumam. Wanita itu semakin panik tatkala melihat kepala suaminya terus-terusan menoleh ke kiri dan terbentur di kaki ranjang.
Dalam kegelapan di rumah sebelah, sang pelaku menyeringai menikmati tiap detik jerit ketakutan tetangganya.
***
Matahari sudah mulai tinggi ketika Divisi Astral mendapat laporan. Tidak ada berkas. Hanya seorang kenalan di rumah sakit yang meneruskan pesan via chat ke ponsel Alfi. Sang polisi berwajah kotak menikmati donat gula halus sambil memaparkan kasus pada empat anggotanya yang sama-sama memakai jaket di kantor.
“Dia meninggal?” tanya Sa’diyah.
“Syukurnya, tidak. Dia masih dirawat di rumah sakit. Tapi, di situlah dokternya merasa ada kejanggalan.”
“Kejanggalan?”