Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #9

Dengki

Jamnya masih sama ketika Alfi dan Sa’diyah mendatangi Pak RT yang kebetulan tinggal di dekat warung. Pertanyaan diajukan. Selain dari kasus Hendra, mereka juga membahas sikap tenang tak wajar Bu Ega.

Pak RT menggaruk leher. Dengan perasaan tidak enak mengakui bahwa memang tetangga satu itu agak lain dari warga sekitar. Jarang-jarang Bu Ega kelihatan di teras rumah kecuali sedang menunggu jemputan pesta, ada tamu, atau sedang terjadi sesuatu di lingkungan tetangga.

“Belum lagi Bu Ega itu suka iri sama orang,” tambah Pak RT.

Alfi cengengesan. “Maaf, nih, Pak RT. Kalau soal bergosip, kayaknya ibu-ibu lain di sini juga senang.”

“Beda, Pak. Dulu dia itu kayak cacing kepanasan setiap ada tetangga dapat rezeki nomplok. Tapi sejak Pak Hendra beli cash rumah Bu Ega yang di sebelahnya itu, dia mulai jarang bersosialisasi.”

Sa’diyah mengernyit. “Pak Hendra beli rumahnya Bu Ega?”

“Betul, Bu. Beberapa tetangga juga tahu Pak Hendra itu kerjanya rajin, makanya uangnya banyak. Urusan rumah sakit juga gampang karena Pak Hendra punya asuransi. Kalau soal sanggup beli rumah 300 jutaan, ya kami gak heran.”

Setelah merasa informasi dari Pak RT sudah cukup, dua polisi itu pamit. Mereka kembali ke rumah Silvi untuk memeriksa kenopnya. Benar. Kenop itu sedikit berkarat tanda memang belum pernah diganti, sementara kuncinya terlihat masih baru, bisa jadi duplikat. Sepertinya masuk akal jika Bu Ega masih punya kunci asli rumah Silvi dan keluar-masuk dengan lancar.

Sa’diyah melirik Alfi. “Katakanlah Bu Ega memang pelaku santetnya. Setelah itu apa?”

“Ya kita tangkap. Dasar hukum kita ada di KUHP pasal 252 ayat 2.”

Pembicaraan mereka disela oleh bunyi ponsel Alfi. Koneksi di rumah sakit menginfokan tentang kondisi Hendra yang berteriak-teriak. Telepon ditutup. Alfi meminta Sa’diyah memeriksa keadaan Silvi dan suaminya sementara ia sendiri akan menghubungi anggota lain Divisi Astral.

Lima belas menit perjalanan hingga Sa’diyah tiba di rumah sakit. Ia menyusuri gedung hingga menemukan salah satu koridor di mana Silvi duduk menangis kebingungan. Sa’diyah menghampirinya. Teriakan dari dalam ruang penanganan yang masih terdengar samar mengalihkan sang polwan berjilbab sebelum sempat bertanya.

Sementara di dalam, dokter dan perawat terlihat kebingungan dengan kondisi Hendra. Di luar nalar. Suhu tubuh meningkat sangat drastis dan anggota badan selain kepala tidak memberi reaksi apa pun saat disentuh. Seakan-akan pria berbadan gempal itu lumpuh tapi merasakan sakit yang hebat di saat bersamaan.

Dokter terus melakukan pemeriksaan. Namun, saat menyentuh bagian perut Hendra, tangan dokter spontan terangkat karena merasakan panas luar biasa. Perawat terkejut. Belum sempat kebingungan mereda, teriakan Hendra mendadak berhenti. Hendra tak sadarkan diri.

Hilangnya suara teriakan membuat Silvi yang panik berdiri ingin mencari tahu kondisi suaminya. Silvi menangis memanggil-manggil Hendra dan bertanya pada dokter dari balik pintu. Sa’diyah menenangkan.

***

Lihat selengkapnya