Di dalam gang yang hanya sedikit tersentuh cahaya matahari sore, seorang lelaki remaja berjerawat sedang meringkuk jadi samsak lima remaja lainnya. Ia menangis. Seragam SMA-nya semakin kotor seiring tendangan bersusulan. Gang itu sepi. Para perundung sesekali menendang wajah remaja itu, memastikannya tak mampu berteriak meminta tolong.
Tidak jauh dari para pelaku, seorang siswa berambut belah tengah duduk di motor trail-nya, santai membakar rokok sambil mengamati si remaja berjerawat dihajar.
Setelah hampir sepuluh menit, aksi itu berhenti. Miris. Para siswa badung tertawa puas melihat korban mereka hanya bisa menangis tak berdaya di atas paving block gang. Kemudian siswa rambut belah tengah turun dari motor, berjongkok mengamati si remaja berjerawat dengan wajah arogan.
“Makanya gak usah sok teladan. Kami merokok di kelas juga bukan lu yang rugi. Gak usah main lapor segala. Paham?”
Si remaja berjerawat tak menjawab. Hanya terus terisak. Secara perawakan, ia sebenarnya tak jauh beda dengan para pemberi tendangan. Tidak gemuk, tidak juga kurus. Mungkin pembedanya adalah jumlah dan kepribadian.
Siswa rambut belah tengah kemudian berdiri, bergabung bersama teman-temannya dan bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat si remaja berjerawat perlahan bangkit memperlihatkan siluet dalam remangnya gang.
Hawa area itu mendadak berubah. Tidak dingin, tapi ada sensasi angin merayap dengan cara tak menyenangkan. Hening. Seakan tanda kehidupan di sekitar gang hanya enam siswa nakal dan satu remaja berseragam kotor yang baru saja mereka hajar.
Salah satu siswa yang menendang tadi terkekeh, kemudian melangkah maju mendekati remaja berjerawat seraya bersiap melesatkan bogem mentah. “Masih sok jagoan lagi, sia—”
Perkataannya terputus. Tinjunya tak sampai mengenai wajah si remaja berjerawat. Siswa berandal itu ternganga, lalu ambruk dengan leher yang sudah koyak di bagian jakun. Darah terciprat layaknya air mancur membuat lima temannya bergidik ketakutan.
Remaja berjerawat itu masih berdiri di tempatnya. Tak ada tangis. Tatapannya kosong seakan kejadian mengerikan barusan bukan hal besar. Selain gumam dari mulutnya yang luka, anggota tubuh lain tetap pada posisi masing-masing.
“Kabur! Kabur!”
Kelima berandal itu tak punya waktu memikirkan nasib teman mereka yang sudah terkapar sekarat di jalanan gang. Mereka lari. Sungguh malang bagi si remaja berambut belah tengah karena masih harus membawa serta sepeda motornya menyingkir.
Terlambat. Si remaja arogan hanya bisa berteriak minta tolong ketika kakinya ditarik ke belakang. Motornya jatuh. Remaja itu terus berjuang menyelamatkan hidupnya dari ancaman siswa yang tadi ia dan teman-temannya perlakukan seperti serangga kecil.
Ia menggeram. Dikumpulkannya sedikit keberanian untuk menengok ke belakang, mencari celah agar bisa lolos. Namun, bukan jalan keluar yang ia temukan, melainkan siluet sosok tinggi besar rambut panjang berdiri tepat di belakang remaja berjerawat.
Tangan kiri makhluk itu sedikit terangkat seakan sedang memegang sesuatu. Telapaknya tak terlihat. Tak salah lagi, kaki remaja arogan itulah benda dalam genggamannya. Tangan itu kemudian bergerak mundur, bersamaan dengan si remaja rambut belah tengah yang semakin ditarik mendekat ke arahnya.