Garis polisi masih terpasang di gang dan dijaga tiga orang petugas. Jam sembilan. Sa’diyah telah mendapatkan informasi rumah perekam video dari anggota tim penyidik. Sang polwan berjilbab dan teman kelompoknya kini duduk berhadapan dengan wanita berkulit sawo matang rambut keriting yang tampak gelisah di ruang tamu.
Wanita itu menceritakan rasa ngerinya ketika merekam si remaja perundung ambruk dengan leher berdarah. Sadis. Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tentang bagaimana korban rundung mendadak bangkit dan terlihat tidak melakukan apa-apa, tapi tetap memakan korban.
“Saya sebenarnya mau kirim video versi full ke akun berita,” kata wanita itu, “tapi takut dikira sebar hoax.”
“Coba saya lihat videonya,” pinta Sa’diyah.
Video diperlihatkan. Durasinya memang jauh lebih panjang dari yang diunggah akun berita lokal. Terdengar suara terkejut wanita itu ketika bagian remaja tumbang dengan leher berdarah. Semua kejadian kemarin, termasuk teriak minta tolong si remaja rambut belah ikut terekam kamera.
Sayangnya lagi-lagi video berakhir tanpa memperlihatkan nasib siswa yang terseret di paving block.
Namun, yang lebih mengherankan Sa’diyah karena keterangan wanita itu benar. Si korban perundungan hanya berdiri diam. Mata Sa’diyah menyipit. Ia mengulang-ulang bagian pembunuhan, mencoba mencari bagian di mana si korban perundungan mungkin menggunakan senjata. Nihil.
Jari Sa’diyah men-zoom tampilan video, mencoba menampilkan wajah korban perundungan, korban tewas, dan si siswa rambut belah tengah. Masih pecah. Meski demikian, setidaknya itu cukup bagi Sa’diyah untuk memotretnya sebagai petunjuk.
Sa’diyah mengembalikan ponsel. “Mbak tahu apa yang terjadi sama cowok yang diseret itu?”
“Tidak, Bu. Melihatnya saja saya sudah semakin ketakutan, makanya saya berhenti merekam dan langsung masuk ke kamar.”
Setelah meminta video full-nya, dua anggota Divisi Astral itu kemudian pamit. Tak langsung ke markas. Sa’diyah memasuki garis polisi, lalu berdiri dekat titik di mana si remaja rambut belah tengah diseret. Ia berpikir. Mencoba menerka apa yang telah dilihat siswa itu.
Sa’diyah menonton ulang video, meminta masukan dari rekannya untuk kemungkinan apa pun. Ada satu kesimpulan. Sa’diyah sendiri sebenarnya sudah memikirkan itu, tapi ia semakin geleng-geleng ketika mendengar perkataan rekannya.
Sang polwan berjilbab kemudian menelepon Alfi yang sudah tiba di sekolah. “Soal balas dendam yang Pak Alfi bilang semalam, itu benar.”
“Dia tiba-tiba jadi jago silat, ya?” Alfi cengengesan. “Atau jangan-jangan dia panggil kodok raksasa dari dimensi lain?”
Sa’diyah menggeleng. “Bukan. Kayaknya dia ... pengguna Stand.”
***
Matanya perlahan terbuka hanya untuk menemukan dirinya sedang ada di dalam sebuah tempat minim cahaya. Mulutnya dibekap kain. Ia merasa sesak dan sulit bergerak karena badannya diikat tali pramuka. Ruang geraknya terbatas. Dialah sang siswa arogan yang rambutnya tak lagi belah tengah.
Siswa itu berusaha berteriak. Percuma. Selain sumpalan kain di mulut, tempatnya terjebak dalam posisi terbaring juga semakin meredam suara. Seakan jerit amarah bercampur ketakutannya hanya berputar di tempat itu saja.