Waktu insiden di siang hari sehingga mudah menarik perhatian warga. Mereka sudah berkerumun di TKP, ingin melihat mayat dengan kondisi mencengangkan dalam selokan. Polisi menghadang. Orang-orang yang ingin mendapat bahan video viral itu hanya dibiarkan berada lima meter dari lokasi kerja tim penyidik.
Alfi dan Sa’diyah bersama dua rekan lain turut memeriksa. Setelah mengamati jasad, Alfi mendekat ke Sa’diyah yang sejak tadi mengamati rumah-rumah warga.
Sa’diyah mengeluh, “Tidak ada CCTV atau apa pun di sekitar sini. Hanya ada keterangan saksi penemu mayat yang melihat anak SMA keluar dari lorong.”
“Bisa jadi itu pengguna Stand kita,” tutur Alfi.
Anggota tim penyidik berhasil menemukan kartu siswa di dompet korban lalu memperlihatkannya ke Sa’diyah. Tidak mengejutkan. Nama sekolah yang terpampang adalah sama dengan korban tewas sebelumnya.
Alfi bisa mengonfirmasi korban kali ini juga merupakan perundung Arya, karena dari informasi siswa di koridor, ada enam teman kelas yang tidak masuk sekolah hari ini. Sa’diyah gelisah. Sepertinya kasus bully telah berubah jadi pembunuhan berantai.
“Saya dulu pernah dengar sedikit tentang khodam. Setahu saya, pemilik khodam pasti disegani orang sekitarnya. Terus kenapa yang ini malah gampang kena bully?”
“Tergantung orangnya, Sa’diyah. Ada keluarga yang memang sengaja mewariskan khodam ke anak cucunya, tapi tidak berarti yang diwarisi itu akan punya keberanian serupa leluhur mereka.”
“Jadi, maksud Pak Alfi, khodam si korban bully itu keluar karena dia sedang terdesak?”
Alfi menatap Sa’diyah. “Maksud saya, khodamnya keluar karena memang dia ingin menunjukkan pada lawannya agar tidak macam-macam.”
***
Kotak kayu telah terbuka. Manusia yang tadi mengisinya kini tengah berteriak di atas gundukan tanah kaki pohon beringin. Tubuhnya tengkurap. Remaja bernama Galang itu masih bersikap jagoan, ia terus meronta sambil berteriak menantang pada pria kekar yang menahan tubuhnya di atas tanah.
Dilihat dari tampilannya, tempat luas itu cukup jauh dari hiruk pikuk kota. Sepi. Teriakan Galang menggema di antara rindang pepohonan. Daun gugur kering bahkan tak banyak bergeser meski Galang sudah menggeliat sekuat tenaga.
Pria kekar yang mulai muak itu kemudian menodongkan goloknya ke leher Galang. “Jangan banyak gerak! Nanti kubunuh kamu!”
Galang terdiam. Napasnya masih terengah di atas kain yang membekap mulutnya. Remaja itu berharap bisa menyeka perih bulir keringat di mata. Untuk sekarang, ia menurut. Nalarnya bergerak. Siapa pun kedua orang itu, tujuan mereka pasti tidaklah baik.
Perasaan Galang mulai tidak enak ketika pria kekar dan wanita yang kemungkinan adalah istrinya itu sedikit menjauh, kemudian mulai berlutut di tanah menghadap ke pohon beringin. Golok diletakkan di tanah, tepat di dekat kepala Galang. Mereka menunduk. Tangan mereka terangkat dengan telapak rapat, lalu melakukan gerakan seperti sedang menyembah.
“Wahai leluhur kami, Ki Jogono Suryobengi ... mohon senantiasa lindungi anak kami Arya dari tangan-tangan jahat.”
Galang memang terkejut. Namun, ia tidak ingin menghabiskan waktunya di tempat itu demi mendengar lantunan sembah berbahasa daerah. Kali ini ruang geraknya jauh lebih banyak. Kesempatan. Si remaja arogan berguling pelan, kemudian menggeliat hingga akhirnya sanggup duduk.
Pasangan itu masih sibuk berdoa. Kesempatan bagi Galang meraih golok. Agak sulit. Namun, ia berhasil memutus kekangan tali pramuka di lengannya. Sayang kesenangan sesaat Galang membuatnya tak sengaja menjatuhkan golok hingga terantuk batu.