Garingnya kulit roti bakar di sebelah teh panas tersentuh oleh tangan bercincin kawin. Roti digigit. Sang polisi berwajah kotak tengah duduk sendirian di ruangan bercat putih. Menghela napas setiap selesai menyelesaikan kunyahannya.
Namanya Alfi Hanafi. 38 tahun. Sebagaimana pria beristri lainnya, ia tentu berharap bisa menikmati sarapan pagi dengan penuh sukacita, sedikit menggoda istri dan mengelus kepala sang anak. Namun, tidak. Pagi itu terlalu hambar untuk manisnya teh dan olesan selai nanas dalam roti.
Seorang wanita berambut panjang keluar kamar telah mengenakan kemeja dan jas, kontras dengan Alfi yang masih memakai kaos oblong. Terlihat buru-buru. Ia mengambil sepatunya di bawah tangga, membelakangi Alfi.
“Gak sarapan, Wi?”
“Sudah tadi.” Wanita itu menengok sekilas. “Makanan tinggal ambil di panci kalau kamu pulang.”
Alfi bertopang pipi. “Dewi buru-buru banget, sih? Kaki seribu saja belum pakai sepatu.”
Wanita bernama Dewi itu masih membelakangi Alfi dan menghela napas. “Aku harap kamu bisa bercanda seperti itu waktu Zidan masih ada.”
Pria berkulit kuning langsat hanya bisa memasang wajah datar melihat istrinya berlalu. Alfi menyeruput teh. Matanya kemudian tertuju pada pigura kecil di atas kulkas. Ada foto keluarganya sedang tersenyum bahagia. Alfi, Dewi, dan seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang tersenyum menggemaskan.
Alfi memandanginya cukup lama sebelum tertunduk. Ia termenung. Menyadari eksistensinya sebagai polisi dengan lelucon receh di luar, tapi tak lebih dari seorang suami menyedihkan di dalam rumah.
***
Berkas diletakkan di meja. Sa’diyah memeriksanya dan memandang tak percaya pada foto-foto di atas lembar kasus. Tangkapan gambar rekaman CCTV menampilkan sesosok anak kecil gundul telanjang dada bercelana dalam putih mengendap-endap di sekitar area sebuah rumah.
Sa’diyah melirik Alfi. “Tuyul? Ini bercanda, ‘kan?”
Alfi menggeleng. Topeng bapak-bapak sok asik-nya kembali terpasang setelah tiba di kantor. Ia dengan mudah menangani keluhan Sa’diyah tentang kasus di luar nalar yang kali ini akan mereka tangani. Bahunya terangkat. Sangat santai mengingatkan pada sang polwan bahwa sebelumnya mereka menangani kasus khodam.
Sa’diyah mengalah. Ia menghela napas dan mengikuti sang polisi menuju lokasi tertera pada berkas. Setengah jam perjalanan. Mereka berdua tiba di area pemukiman sebelah Tenggara kota dan memarkir sepeda motor di dekat sebuah warung.
Tak mengherankan jika warga berkerumun di depan salah satu rumah. Bukan hanya perempuan. Bahkan lelaki gembul berkumis pun menjadi pembicara dalam forum gosip pagi. Ya. Sosok tuyul yang tertangkap rekaman CCTV korban tentu saja jadi topik panas nan segar.
Sa’diyah dan Alfi tidak langsung mendekat. Mereka mengamati rumah sekitar sekaligus terus mendengarkan pria berkumis mengoceh tentang cara menangkal bahkan membinasakan seekor tuyul.
Sa’diyah memijat kening. “Bagaimana kita bisa mendapat laporan seperti ini, sih?”