Rumah dua lantai itu menjadi penghalang sinar surya jam sembilan pagi. Warga berkumpul. Teduhnya bayangan rumah semakin mendukung kenyamanan mereka untuk bergibah. Seperti kemarin, Pak Mansyur lagi-lagi menjadi pembicara dominan.
Di sebelah Pak Mansyur adalah pria berkulit gelap usia 30-an bernama Edi. Dia pemilik rumah. Tak hanya itu, Pak Edi juga merupakan korban gasak tuyul semalam. Berbeda dengan korban sebelumnya yang hanya sekadar lesu, Pak Edi terlihat suram menahan tangis.
Pak Mansyur merangkul Pak Edi. “Saya kasihan sama Pak Edi. Andai Pak Edi mendengar saran saya kemarin tentang cara menangkal tuyul, tentu ini tidak akan terjadi!”
Pak Edi hanya bisa menarik napas panjang, mendongak agar matanya yang berkaca-kaca tak sampai menjatuhkan air mata.
Sa’diyah tiba belakangan dibanding Alfi yang sudah sejak tadi berdiri agak jauh mendengar aksi menasihati Pak Mansyur. “Saya ketinggalan apa?”
“Korban kali ini kehilangan uang tidak terlalu banyak, tapi stres banget. Katanya itu pendapatan sebulan kerja.” Alfi menggeleng. “Kasihan, rumah besar tidak menjamin keharmonisan.”
Sa’diyah mengernyit setelah mendengar perkataan rekannya barusan. Keharmonisan? Mungkin maksud Alfi adalah ekonomi yang bagus. Namun, saat ini bukan masalah bahasa.
“Ngomong-ngomong, saya sudah memeriksakan rekaman CCTV ke beberapa teman yang ahli. Pak Alfi menang. Bahkan teman-teman saya bilang, sepertinya itu terlalu totalitas dan aneh kalau mau disebut prank anak kecil.”
Alfi tak menjawab. Lelaki berwajah kotak itu hanya fokus memandang kerikil di atas aspal yang ia tendang.
“Pak Alfi dengar, gak?”
Barulah Alfi keluar dari lamunannya dan kembali pada diskusi. Keduanya sepakat pada kenyataan bahwa pola serangan tuyul di area ini cukup acak, bisa jadi untuk menghindari pelacakan.
Setelah hampir lima belas menit Pak Mansyur menyombongkan diri dengan pengetahuan dunia gaibnya, forum kecil itu bubar. Ibu-ibu berbisik. Mereka tak terlalu memusingkan kehadiran dua orang asing yang jadi objek pembicaraan.
“Katanya kasus ini sampai dibawa ke polisi, ya? Apa polisi sekarang segabut itu sampai mengurusi masalah tuyul?”
“Kalaupun ini bukan hoax, sih, ya ... paling pelakunya Pak Mansyur. Sok nasihati orang, tapi lihat tuh kekayaannya.”
Bibir Sa’diyah bergoyang seakan sedang menelan pil pahit. Ia bertahan. Sejak awal, Alfi sudah mengatakan pekerjaan ini akan mendapat banyak respons negatif. Sa’diyah melirik dan menggeleng menemukan rekannya cengengesan.
Keduanya kemudian memandang ke arah Pak Mansyur yang mengelus kumis sembari berjalan pergi dari rumah Pak Edi. Alih-alih curiga, pola serangan membuat Sa’diyah berpikir pria gembul itu akan jadi korban selanjutnya.
***