Masih siang. Kegaduhan di rumah Pak Mansyur sudah mereda. Namun, bukan itu fokus Sa’diyah saat ini, melainkan kemujuran lelaki kurus tadi melintas di depan rumah korban yang melaporkan kasus tuyul. Sa’diyah pun kembali bertamu untuk memeriksa rekaman CCTV.
“Oh, saya tahu dia! Dia biasanya lewat daerah sini, entah mungkin belanja atau sekadar jalan-jalan.”
“Bapak tahu rumahnya di mana?”
Pria janggut tipis itu menggeleng. “Yang pasti dia bukan warga sini, sih. Atau mungkin tinggalnya dekat, cuma tidak pernah bersosialisasi.”
Ribut-ribut di ruang tamu terdengar sampai ke ruang monitor CCTV yang terletak tepat di sebelahnya. Sa’diyah keluar. Pak Mansyur sudah ada di muka pintu, berseteru dengan dua anggota Divisi Astral. Si pria gembul ngotot ingin ikut memeriksa rekaman pria kurus misterius.
“Hei, Bu Polwan! Tersangkanya sudah ketahuan, ‘kan? Kalau begitu bantu bersihkan nama saya!”
Sa’diyah tak terlihat gentar. “Tenang, Pak, kami sedang mengusahakan—”
“Pak Ahmad juga bantu, dong! Bapak, ‘kan, juga korban?” ucap Pak Mansyur pada si pria berjanggut tipis.
Pria berjanggut yang sedikit khawatir memberi tatapan isyarat pada Sa’diyah. Jelas tingkah Pak Mansyur hanya akan menghasilkan kegaduhan lain. Tak ada pilihan. Dua rekan Sa’diyah terpaksa menjatuhkan tubuh gembul Pak Mansyur karena terus memaksa ingin masuk ke dalam. Orang kaya itu pun murka dan memaki tiga polisi di dekatnya.
Hampir tujuh menit. Amukan Pak Mansyur baru mereda setelah ia merasa warga yang melihat kejadian itu kembali membuatnya terlihat seperti tontonan sirkus. Pak Mansyur bangkit. Tak lagi melontarkan makian, hanya membawa wajah merah padam sampai ke rumah.
Sang polwan berjilbab berjalan ke pintu, lalu mengarahkan pandangannya ke Alfi yang baru datang ke teras rumah sambil mengemut lolipop. Sa’diyah mendengkus.
Pria berjanggut tipis mendekat. Urusannya dengan polisi belum selesai. Ia lantas mengajak Sa’diyah kembali ke ruang monitor. Alfi ikut. Kali ini pemilik rumah memperlihatkan rekaman semalam, membuat dua anggota Divisi Astral itu tercengang. Ada tiga tuyul melintas seakan sedang lomba lari.
***
Lelaki kurus itu terengah-engah memasuki rumah semipermanennya yang terlihat sederhana. Pintu ditutup. Ia menurunkan tuyul di punggungnya, lalu memerintahkan jin plontos itu kembali ke gubuk kandang ayam.
Layaknya baru saja memenangkan sebuah perlombaan, lelaki itu tertawa. Ia berjalan ke kamarnya, lalu duduk di samping lemari sebelah ranjang. Lemari dibuka. Saat itulah tawanya makin menjadi-jadi melihat tumpukan uang yang diberi ruang tersendiri terpisah dari gantungan pakaian.
“Hidup itu gampang~” senandungnya.
Ia kemudian bangkit. Lelaki itu berjalan ke dapur, lalu mengambil ayam hidup dalam keranjang yang ia letakkan di bawah meja kompor. Diambilnya sebilah pisau dan sebuah mangkok. Lalu ia mengeluarkan ayam, dan dengan santai menyembelihnya di atas meja. Mangkok tadi digunakan sebagai penadah darahnya.
Ayam itu tak sendirian. Ada tujuh ekor lagi di pojok dapur menunggu giliran menerima nasib serupa.
Si lelaki kurus kemudian membawa mangkok ke kebun di belakang rumahnya, terus ke gubuk. Cukup rimbun. Pohonnya beraneka macam, tapi tak berbuah. Fungsinya hanya menjadi peneduh dari sinar matahari sore yang malah membuat kebun itu mengeluarkan hawa aneh.
Gubuk itu remang. Lampunya sudah lama tak berfungsi, hanya mengandalkan berkas cahaya dari lubang di dinding kayu dan genteng. Bau kotoran ayam yang telah mengering masih bisa tercium. Lelaki itu tersenyum. Ia memandangi delapan peliharaan gaibnya dengan bangga.