Bau kemenyan merayap di dalam kamar berhiaskan kumpulan lilin kecil dan tumpukan kelopak bunga kuburan. Seorang lelaki berdandanan perempuan terpejam komat-kamit di depan cahaya hangat. Tangannya bergerak. Gemerincing perhiasan sesekali terdengar seiring lambaiannya yang gemulai.
Mata berhiaskan eye shadow merah itu perlahan terbuka menampakkan pupil biru safir. Menatap tajam ke pria paruh baya berkemeja putih yang membawa nampan sesajen di depannya. Beraneka rupa. Seonggok jasad ayam segar lengkap dengan wadah penampung darahnya, hingga dua buah kelapa muda siap minum.
“Mana fotonya?” pinta dukun berdandanan perempuan itu. Suaranya terlalu dalam untuk penampilannya.
Si pria paruh baya menyerahkan selembar foto menampilkan wajah seorang lelaki berkulit putih usia 20 tahunan. Dukun tersenyum. Masih sempat bercanda mengatakan betapa tampan orang yang akan dikerjai. Pria paruh baya mengeluh tidak sabar.
Sang dukun berkedip pelan. Ia mulai mengambil boneka jerami seukuran telapak tangan bersama sebuah kain putih berisi puluhan bilah jarum. Mulutnya bergumam. Ditempelkannya foto pada boneka. Perhiasannya kembali bergerincing seiring tangannya bergoyang-goyang mengangkat kedua benda yang tadi ia ambil.
Perlahan, gumam sang dukun mulai mengeras jadi ucapan mantra dalam bahasa daerah. Matanya melotot. Getaran tangannya makin hebat. Si pria paruh baya berdebar mengamati. Api lilin meninggi memperbesar bayangan sang dukun ketika bersenandung sambil menyatukan boneka dan kumpulan jarum.
Kemudian hening. Api kembali ke kedudukannya semula. Si pria paruh baya menerka apa yang baru saja terjadi. Saat ia hendak bertanya, sang dukun memberinya isyarat diam.
Sementara ada suasana kontras di tempat berbeda. Terang. Sebuah kafe dengan anak-anak muda berkumpul menikmati malam dan tertawa membicarakan sepakbola. Di antara mereka adalah lelaki yang jadi target sang dukun. Tidak terjadi apa-apa. Lelaki itu masih bisa tertawa bersama teman-temannya.
Lelaki itu kemudian pamit ke kamar kecil. Masih normal. Sejauh ini ia mengira terlalu banyak makan sehingga es kopi pesanannya membuat kerongkongannya terasa aneh. Namun, saat menutup pintu barulah ia merasa ada yang salah.
Bukan lagi aneh. Lehernya benar-benar sakit luar biasa. Ia mengerang. Namun, semakin keluar suara dari tenggorokannya, malah makin menambah penderitaan. Lelaki berkulit putih itu memijat leher, berharap sumber rasa sakitnya menyingkir.
“Yono lama banget di toilet, sih,” ujar salah satu teman si lelaki, “ngapain tuh anak?”
Semua teman si lelaki sama enggannya untuk memeriksa. Mereka meminta tolong pada lelaki pelayan kafe. Dituruti. Pelayan kafe kemudian beranjak ke kamar kecil dan mengetuk pintu. Tak ada jawaban.
Pelayan mendapati pintu tidak terkunci, maka ia mendorongnya untuk sekadar memastikan tidak ada orang di dalam. Ketika pintu dibuka, pelayan dikejutkan oleh si lelaki yang sudah terduduk tak bernyawa di lantai kamar mandi. Mulut berdarah. Sesuatu menyempil di pojok bibir sang mayat. Sebilah jarum.
Di ruang kerja sang dukun kemayu, keheningan masih menyelimuti. Kumpulan jarum sudah raib menyisakan kainnya. Kecuali dua. Satu digunakan untuk menempel foto, dan satunya ditancapkan dalam-dalam ke leher boneka jerami yang kini tergeletak di atas tumpukan kelopak bunga.
Sang dukun mengambil salah satu kelapa, lalu meminumnya. Setelah dahaganya hilang, ia menatap si pria paruh baya dengan senyum genit. “Sudah beres.”
***
Ruangan kantor divisi diterangi cahaya jam sembilan pagi. Sepi. Sa’diyah membaca berkas kasus kematian di kafe sedangkan Alfi tengah menikmati roti cokelat pisang. Mata Sang polwan teliti membaca laporan dan foto-foto, termasuk tentang jarum yang menjadi dasar kasus itu dilimpahkan ke Divisi Astral.
Mata Sa’diyah masih fokus ke laporan. “Ada informasi lain terkait korban?”