Perumahan terpencil itu mulai dipenuhi kendaraan pelayat. Masih pagi. Kerabat keluarga mencoba menenangkan raungan kesedihan mendalam ibu Rifka yang menggema di ruang tamu. Sementara jasad sang perawat sudah terbaring di atas tikar bertutup dua lapis kain.
Pacar Rifka duduk di bawah tenda bersama pelayat lainnya. Wajah segitiga lelaki berkemeja biru itu murung ketika Alfi dan Sa’diyah menghampiri. Obrolan terjadi. Sang pacar menahan tangis menceritakan garis besar perjalanan mengantar Rifka pulang semalam hingga detik-detik kematian.
Sa’diyah bertanya, “Bagaimana dengan jarumnya?”
Pacar Rifka melirik sekitar sebelum mengeluarkan plastik kecil berisi jarum dari sakunya. “Orang tua Rifka tahu kematiannya tidak wajar. Saya dipercayakan mencari ‘orang pintar’ untuk menangani masalah ini.”
Alfi terkekeh mengambil plastik itu. “Memangnya polisi gak ada yang pintar?”
Dua polisi itu kemudian sedikit menjauh dari rumah duka untuk berdiskusi. Alfi memegang dagu. Ini sudah masuk pembunuhan berantai. Selain dari fakta bahwa Rifka juga merupakan keponakan Haji Ghani, motif dan pola serangannya belum bisa disimpulkan.
Haji Ghani keluar rumah duka dan menemui dua polisi itu. Tak mengamuk. Malah sang pria tua gemuk terlihat tertekan di bawah kesedihan. Padahal sebelumnya Komandan menginformasikan ke Alfi bahwa Haji Ghani kembali mengamuk di markas.
“Belum juga keponakan satunya dikubur, ini sudah ada lagi yang meninggal.” Haji Ghani menunduk terisak. “Tolong ... cepat tangkap pelakunya.”
Pria tua gemuk itu kemudian kembali ke dalam rumah duka. Sa’diyah dan Alfi saling melirik lalu dengan perasaan iba mengamati Haji Ghani melangkah.
Ponsel Alfi berbunyi. Ada pesan dari anggota yang ia perintahkan memeriksa tanah baru Haji Ghani. Alfi tersenyum puas. Diteruskannya petunjuk ke Sa’diyah. Tanah itu awalnya hendak dibeli dua orang dengan Haji Ghani sebagai pemenang. Saingannya satu. Pak Subro.
***
Ruangan itu bercat abu-abu dan kedap suara, digunakan untuk interogasi. Jam tiga sore. Kaca lebar ditutup blind folding. Empat orang polisi berjaket berdiri di dua sisi ruangan, mengelilingi pria paruh baya yang duduk di belakang meja putih.
Pak Subro terus mengamuk di dalam ruangan. Mencaci maki empat polisi itu karena menangkapnya di tempat kerja dan tuduhan tak masuk akal yang dilontarkan padanya. Alfi santai. Begitu juga dua polisi lain. Sedangkan Sa’diyah sendiri mulai mengepalkan tangan.
Setelah hampir sepuluh menit meledak, Pak Subro mengambil napas. Ia memalingkan muka. Tak sudi memandang empat anggota Divisi Astral dalam ruangan itu. Ketika Alfi memulai interogasi dengan nada halus, Pak Subro mengunci mulutnya.
Alfi berkacak pinggang. “Yah ... apa boleh buat. Bawa Pak Subro ke pusat rukiah! Biar jin dalam tubuhnya yang mengungkap semua rahasia terdalam Pak Subro.”
Pak Subro terbeliak. “Oke! Oke! Saya akan kasih tahu yang kalian mau.”
Dari situ terungkaplah motif Pak Subro menyewa jasa dukun. Bukan dendam lama. Ia hanya tidak senang Haji Ghani selalu berhasil mendapatkan keinginannya, termasuk tanah yang sudah lama diincar Pak Subro.