Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #19

Kriminal

Ruangan itu tak meredam suara orang-orang sibuk mengetik di luar. Sa’diyah yang berjaket cokelat duduk di dalamnya, tertunduk menghadapi meja Komandan yang kosong. Tangan lentiknya mengepal. Ekspresinya cenderung datar, menandakan beban pikiran bertumpuk.

Pintu terbuka dan Komandan masuk membawa map berkas. Sa’diyah menoleh. Mata sang polwan kemudian mengikuti atasannya duduk di singgasana kepemimpinan. Komandan meletakkan berkasnya sebelum membalas tatapan Sa’diyah. Tak ada ekspresi kemarahan.

“Saya sudah dengar dari Alfi soal kasus kemarin. Dia benar, Sa’diyah. Kamu tidak boleh dibutakan dendam.”

“Maaf, Komandan,” jawab Sa’diyah.

Sang pimpinan mengangguk, lalu membuka map yang ia bawa di depan Sa’diyah. Mata Komandan memicing. Telunjuknya mengarah ke salah satu foto tampilan altar ritual di rumah sang dukun. “Ada yang kurang di sini, ‘kan?”

“Betul, Komandan. Tidak ada media santet seperti boneka. Jarum yang dikirim untuk jadi penyebab kematian juga tidak ditemukan.”

“Itu tugas kalian. Sampai benda itu ditemukan dan dicocokkan dengan yang kalian dapat dari pacar keponakan Haji Ghani, kasus akan tetap menemui jalan buntu.”

Mata Sa’diyah terus mengikuti gerak tangan Komandan di atas berkas. Sebagaimana seorang bawahan yang patuh, Sa’diyah tidak bicara kecuali diperintahkan.

Komandan menghela napas. “Dengar, Sa’diyah. Apa yang ada di hati kamu itu urusan pribadi. Saya hanya tidak ingin kamu melampiaskannya dengan cara yang salah.”

Tak ada hal bisa dilakukan Sa’diyah kecuali memasang wajah yang perlahan berubah murung. Dia mengangguk. Nasihat Komandan tentang mengutamakan penyelesaian kasus menjadi pengantar sebelum Sa’diyah meninggalkan ruangan.

Suara jari beradu dengan papan ketik menemani Sa’diyah menuju ruang tunggu markas. Tak ada dialog. Bahkan dengan ekspresi kosong, orang melihat masih bisa berasumsi bahwa Sa’diyah sedang menyimpan sisa gusar.

Di saat bersamaan, Alfi dengan jaket hitamnya baru saja masuk markas sambil menyapa akrab pada petugas lain. Langkahnya terhenti. Alfi mencoba memasang wajah tenang demi menghadapi Sa’diyah yang baru saja hendak menyambangi pintu keluar.

“Tim sudah menyisir sekitar area pengejaran semalam, termasuk dekat jurang.” Alfi mengangkat bahu. “Nihil.”

“Kita gak bisa menunggu sampai dia bunuh orang lagi, Pak Alfi,” protes Sa’diyah.

“Ya gak gitu juga. Masalahnya hutan pinus luas, dukunnya bisa ada di mana saja. Bahkan ada kemungkinan dia sudah tidak di wilayah itu lagi.”

Sa’diyah menyilangkan tangan. Napasnya agak panjang melirik lantai sambil menggeleng perlahan dilanda frustrasi. Dahinya mengerut. Mata monolid sang polwan berjilbab melirik Alfi.

“Saya ada ide.”

*** 

Jalan raya disemuti ratusan kendaraan pencari rezeki. Bising. Udara sesak polusi berbaur dengan aroma dari gerobak makanan pinggir jalan. Pada dasarnya, kejahatan bisa bersembunyi dengan sempurna.

Lihat selengkapnya