Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #20

Kontrak

Toko itu sejuk dengan lampu putih menerangi etalase suvenir. Pegawainya tersenyum. Lelaki ramping berwajah mulus itu baru saja selesai melayani pelanggan. Sementara di ujung meja konter, perempuan muda berjilbab hitam sibuk berkutat dengan game di ponselnya.

Langit mulai beranjak keunguan. Tak ada satu pun di antara dua insan berkemeja batik itu memberi perhatian pada manusia silver yang tengah berjalan menuju samping toko.

Si pria berkacak pinggang. “Sin, bantuin gue beres-beres toko, dong! Main HP mulu dari tadi.”

“Ogah,” jawab temannya tanpa mengangkat muka, “udah tugas cowok buat beres-beres kalau toko mau tutup.”

Si karyawan lelaki hanya bisa menggeleng ketika sang rekan kerja mengumpat akibat kalah permainan. Saatnya berkemas. Tanda buka dibalik menjadi tutup. Sedangkan perempuan berjilbab itu sudah siap dan tanpa rasa bersalah meninggalkan teman yang baru saja menghitung uang.

Dari caranya berjalan keluar pintu toko, sudah terlihat bahwa si karyawati ingin segera menghabiskan waktu di rumah. Senyumnya mengembang. Namun, ketika baru saja hendak beranjak, perhatiannya tercuri oleh pemandangan samar di dalam gelap gang.

“Heh, siapa di situ?” cecar si karyawati berjilbab sambil berdiri di mulut gang. Tak ada jawaban.

Tentu saja penghuni gang tidak memberi respons. Sebuah kejadian di luar nalar membuat lelaki bertubuh perak itu terpaku. Ia mengucek mata. Memastikan apa yang dilihatnya adalah efek terlalu banyak menenggak minuman keras.

Sayangnya, bukan. Cahaya lilin masih menyala. Botol ciu tergeletak menumpahkan sisa isinya. Manusia silver gemetar. 

Perempuan berjilbab menelan ludah. Ia mencoba mengumpulkan nyali untuk masuk ke dalam gang, tapi gagal. Tak ada pilihan. Si karyawati masuk kembali ke dalam toko untuk memberi desakan pada sang teman kerja. Takut ada maling sembunyi, dalihnya.

Si lelaki ramping awalnya enggan dan membalas desakan itu dengan ucapan bernada ejek. Temannya memohon. Sikap ketakutan yang terkesan menyebalkan itu akhirnya membuat lelaki ramping menghela napas mengalah.

Namun, baru saja si karyawan melangkahkan kaki di mulut gang, sosok bertubuh perak mendekat dengan cepat sambil berteriak. Lelaki ramping menghindar. Ia dan teman perempuannya hanya bisa menyaksikan manusia silver berlari sempoyongan di area wisata disertai jerit tangis.

Kini giliran si lelaki ramping yang merasa waswas. Karyawati terdiam. Mereka berdua saling menatap sebelum akhirnya lelaki itu memutuskan memeriksa penyebab manusia silver berteriak. Senter smartphone dinyalakan menjadi penerang menyusuri gang.

Langkah lelaki itu terhenti menjelang ujung gang. Dia membelalak. Di sebelah genangan tetes air blower, manusia silver lain sudah terbujur dengan tubuh kering bagaikan kismis dengan warna yang salah.

Dengan gemetar, karyawan toko suvenir itu memaksa kakinya berlari keluar gang, dan mengarahkan telunjuknya pada manusia silver yang terduduk ketakutan di tepi jalan.

“P-pembunuh!”

*** 

Padahal pengeras suara masjid sudah menggemakan ayat tanda salat sudah dimulai. Alih-alih ikut beribadah, Haji Ghani malah berusaha keras hendak melayangkan bogem pada Pak Subro. Alfi menahannya. Sementara Sa’diyah berdiri di sebelah sang tahanan yang cuek dengan tangan terborgol.

Lihat selengkapnya