Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #22

Kasmaran

Seorang gadis berambut panjang menaiki tembok pembatas jembatan layang, menatap kosong gemerlap pemandangan kota dan membiarkan semilir angin dini hari menerpa wajah bulatnya. Jam dua. Bahkan lelaki tunawisma di kolong jembatan masih bisa tertidur pulas karena tidak ada bising kendaraan.

Gadis itu merogoh saku celana. Mengeluarkan smartphone dan memandanginya cukup lama sebelum di pipi tembem itu mengalir air mata kesedihan. Ia sesenggukan. Sambil tetap memegang ponsel, gadis itu berdiri tegap. Kemudian terjun.

Suara tubuh menghantam aspal terdengar renyah. Smartphone terpental. Benda elektronik itu menghantam wajah sang tunawisma hingga membuatnya terbangun. Tunawisma mengusap area antara dua alisnya yang sakit, kemudian bersiap ingin melampiaskan kemarahan pada pelaku pengganggu tidurnya.

Namun, sang tunawisma hanya bisa membelalak melihat sosok gadis terkapar dengan leher terpelintir dan darah segar menggenang di jalanan. Tunawisma berteriak. Pemandangan tragis itu membuatnya tak memedulikan smartphone yang retak tapi masih berfungsi, menampakkan foto sang gadis bersama seorang pria di layar.

*** 

Jenazah sudah disemayamkan di rumah duka siang itu. Tangis pecah. Alfi dan Sa’diyah duduk di bawah tenda bersama para pelayat yang sepertiganya adalah remaja berseragam SMA. Benar. Rumah sederhana tempat berkabung itu adalah tempat tinggal korban, sang gadis belia kelas sebelas bernama Felly.

Sementara Sa’diyah dengan wajah datar terus mengamati para tamu pengucap belasungkawa, Alfi sendiri fokus pada akun media sosial mendiang korban.

“Bukannya ini kasus bunuh diri, Pak Alfi? Apanya yang astral?”

Alfi tak berpaling dari ponselnya. “Ibu korban berkata ada yang aneh pada anaknya selama dua minggu terakhir.”

Sa’diyah memutar bola matanya. “Ada yang lebih aneh, sih. Cuma lolos.”

“Ayolah, Sa’diyah. Kamu harusnya bersyukur, markas menganggap kematian si dukun kemarin murni kecelakaan. Sekarang, fokus saja ke kasus ini.”

Mata Sa’diyah lantas tak sengaja menemukan kegiatan si polisi berwajah kotak. Setelah mengamati, sang polwan berjilbab memberi tatapan menghakimi. Alfi terkejut. Polisi 38 tahun itu gelagapan berusaha menjelaskan pemandangan di genggamannya.

“Pak Alfi dan Bu Sa’diyah, ya?” tanya seorang wanita beralis tebal yang menghampiri mereka. Ia mengajak dua polisi berdiri agak jauh dari rumah untuk bicara.

Wanita itu adalah ibu korban. Dia mengungkapkan perubahan sikap anaknya yang tadinya ceria menjadi lebih sering murung. Tak hanya itu. Felly juga terkadang bicara sendiri, bahkan sampai berteriak mengucapkan kalimat makian layaknya sedang ada dalam percakapan menyedihkan.

Alfi berpikir sejenak. “Apa anak Ibu pernah cerita soal ... mungkin masalah dengan teman sekolah atau semacamnya? Pacar mungkin?”

“Tidak, Pak. Sejujurnya, saya juga tidak terlalu tahu soal teman-teman Felly. Kadang mereka cuma sampai depan rumah, terus pamit dengan sopan. Dia juga tidak pernah cerita soal pacar.”

Dari situ Sa’diyah dan Alfi tahu bahwa perubahan Felly memang sangat mendadak. Keluarga sang korban telah berusaha mengatasi keanehan dengan membawanya ke psikiater lima hari sebelum kematian. Sang ibu menangis. Ia terisak menceritakan kejanggalan yang semakin menjadi ketika ahli jiwa mengatakan anaknya baik-baik saja.

Alfi dan Sa’diyah mempersilakan ibu Felly kembali ke rumah duka. Mereka berdiri dengan tangan masuk ke saku jaket, mengamati wanita usia kepala empat itu berjalan seraya terus mengusap air mata. Sa’diyah terenyuh. Cukup lama di tim penyidik tak berarti membuat hatinya enggan berempati.

Alfi melirik rekannya. “Ada kesimpulan awal?”

“Orang tua yang tidak memperhatikan pergaulan anaknya karena hanya melihat dari penampakan luar.” Sa’diyah menggeleng. “Tipikal keluarga milenial.”

Lihat selengkapnya