Malam merayap menyelimuti seisi kota, termasuk persimpangan jalan kecil itu. Sunyi. Cahaya lampu kuning kejinggaan hanya menjangkau beberapa sudut. Bau sate baru saja memudar dan menghilang bersamaan papan-papan yang disusun menutup warung.
Pemilik warung melintasi ruang keluarga hijau berjam dinding. Pukul dua belas malam. Lelaki berusia empat puluhan tahun itu menyeka keringat menghampiri istrinya yang tengah mencuci piring. Anak lelaki remaja mereka sudah tertidur di kamar.
Keluarga kecil itu tak menyadari bahaya yang sedang mengintai.
Di bagian tak terjangkau cahaya jalanan luar rumah, sesosok siluet berdiri. Ia menunggu. Setelah melihat lampu dimatikan, barulah sosok itu mengendap-endap mendekat. Tangannya merogoh saku, lalu mengeluarkan kain bungkusan berwarna hitam seukuran kepalan tangan.
Tak ada mantra. Tak ada gerakan aneh. Hanya langsung memasukkan tangan ke dalam bungkusan, kemudian menaburkan isinya yang berwarna cokelat di sekitar pagar warung si pedagang sate. Begitu saja, lalu ia pergi dan menghilang dalam kegelapan persimpangan.
Anak muda sang penjual sate perlahan membuka mata. Kantuknya masih menguasai. Namun, mata si remaja mendadak membeliak. Otaknya tak bisa memproses apakah yang dilihatnya adalah ilusi bangun tidur semata. Di langit-langit, seekor ular sanca besar sedang menganga.
***
Siang di kantor menjadi waktu bagi Sa’diyah berkutat sendiri dengan berkas kasus penyihir. Ia membiarkan jaketnya tertekuk di sandaran kursi, menunjukkan kemeja biru longgarnya. Pikirannya buntu. Rasa lapar membuat Sa’diyah tak bisa fokus terhadap tulisan lembar laporan tim forensik.
Masuklah Alfi, seperti biasa dengan melontarkan lelucon receh. Sa’diyah tidak terhibur. Otak buntu karena keroncongan membuat sang polwan malas mencari letak lucunya. Meski begitu, tetap ada satu hal yang bisa jadi bahan pembicaraan.
“Pak Alfi, saya jadi kepikiran. Bukannya salah satu tanda tempat sedang dimasuki sihir itu ada cecak, ya? Terus kenapa selama kita menghadapi kasus, hewan itu tidak pernah muncul?”
“Hm, kata siapa? Kamu mungkin tidak terlalu memperhatikan, tapi hewan itu selalu ada di TKP. Termasuk waktu rumah kamu dimasuki penyihir.”
Sa’diyah manggut-manggut. “Berarti cecak sebagai pembawa sihir itu memang benar?”
“Kalau kata ahli rukiah, tidak bisa dipukul rata.” Alfi bersandar di dinding. “Kehadiran cecak bukan berarti jadi media sihir. Ada binatang lain juga seperti kecoak dan tikus. Tapi memang ada baiknya waspada, sih.”
Perut Sa’diyah mengeluarkan bunyi khas keroncongan menginterupsi obrolan. Alfi tertawa. Sekali lagi polisi berwajah kotak itu melontarkan lelucon receh sebelum benar-benar memberi solusi.
“Kita makan dulu, yuk! Saya punya warung sate favorit, dijamin nagih.” Alfi mengacungkan jempol.
Sa’diyah beruntung. Tempat yang dimaksud Alfi hanya berjarak sekitar enam menit perjalanan motor dari kantor Divisi Astral. Namun, ada satu masalah. Warung di persimpangan jalan itu terlihat sedang tutup.
“Waduh!” Alfi terperangah.
“Mungkin pedagangnya lagi pulang kampung,” timpal Sa’diyah.