Langit berubah jingga, bersamaan dengan gena shalawat dari pengeras suara masjid. Warung masih sepi. Pak Jamal yang sudah lengkap dalam balutan sarung dan baju gamis hijau dengan berat hati harus kembali merapikan dagangannya untuk tutup lebih awal.
Sang istri yang duduk di meja pelanggan menghitung penghasilan hari ini. Lima puluh ribu. Itu pun adalah uang belas kasihan Alfi setelah mendapati warung sedang dalam situasi tak wajar. Adalah wajar dalam dunia usaha untuk merugi, tapi pembicaraan dengan polisi tadi siang menghasilkan beban pikiran.
Pak Jamal melintas di hadapan istrinya, menyuruh salat. Istrinya mengiyakan. Namun, naluri wanita itu menangkap kegelisahan dari nada bicara sang kepala keluarga. Ketika Pak Jamal hendak beralih ke ruang tamu, wanita itu bangkit.
“Kenapa, Pak?” tanya istri Pak Jamal lembut.
Pak Jamal diam sejenak, lalu berbalik. “Aku cuman gak bisa menerima perkataan Pak Alfi, Bu. Masa iya warung kita kena santet?”
“Tapi gak ada salahnya menerima bantuan Pak Alfi, ‘kan?”
Pak Jamal menghela napas. “Bukannya mau banggakan ibadah. Tapi kamu tahu sendiri salat kita gak pernah putus. Sedekah juga lancar.”
Ingin rasanya istri Pak Jamal mematahkan argumen itu, tapi momennya tak memungkinkan untuk memberi bantahan. Sebentar lagi azan. Wanita itu menuruti perintah suaminya untuk menyuruh Imran salat.
Di saat istri Pak Jamal berjalan menuju ruang keluarga, langkahnya terhenti melihat Imran yang meringkuk di depan televisi. Remaja itu diam. Perintah untuk bersiap salat tak langsung diindahkan. Sengaja Imran menatap ibunya demi memperlihatkan lingkaran hitam di mata.
Istri Pak Jamal mengernyit. “Kamu kenapa?”
“Memangnya benar rumah kita disantet, Bu?” Imran balik bertanya.
Alih-alih memberi jawaban, sang ibu malah berkata agar Imran tak perlu memikirkannya. Imran menolak. Remaja itu protes dengan menceritakan halusinasi aneh tentang ular yang dialaminya. Sang ibu tak bisa memberi solusi, selain kembali menyuruh salat.
Istri Pak Jamal kemudian beranjak ke kamar mandi. Ada bau busuk, tapi ia mencoba abai. Kran dinyalakan. Wanita itu menadah air dengan timba hendak berwudu, karena di bak sedang menipis. Namun, kegiatannya terhenti saat melihat objek putih melata di dinding bak. Kumpulan belatung.
Jerit ketakutan membuat Imran melompat dari kursinya menuju kamar mandi. Begitu juga Pak Jamal yang berdiri di ambang pintu ruang tamu. Keduanya tiba hampir bersamaan. Imran terpaku. Remaja itu memandangi sang bapak.
Istri Pak Jamal suah ada di luar kamar mandi, menggigil karena rasa jijik yang baru saja dihadapinya. Pak Jamal masuk. Setelah diberi isyarat dengan telunjuk sang istri, lelaki berjanggut tipis itu memeriksa ke dalam bak.
Tiga bangkai tikus teronggok mengenaskan di dasar bak. Terendam. Tubuh jasad hewan pengerat itu sudah penuh lubang dengan belatung mengapung di air, ada pula yang merayap pada dinding.
***
Smartphone Sa’diyah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia sibuk sendiri. Kantor Divisi Astral sunyi membuatnya lebih mudah berkonsentrasi. Kali ini sang polwan mencoba membandingkan ulasan tentang warung Pak Jamal dan warung bakso yang jadi daftar tersangka.
Dua-duanya standar. Empat bintang untuk warung Pak Jamal, empat setengah untuk warung bakso. Komentarnya pun wajar. Tidak ada di antara ulasan itu menunjukkan ejekan atau rasa tidak puas. Sa’diyah mengusap kening.
Pintu kantor dibuka. Alfi muncul bersama seorang pria berkopiah putih. Senyum Alfi mengembang. Dengan percaya diri ia menunjukkan surat perintah dari Komandan. Penyelidikan kasus warung sate Pak Jamal sudah disetujui. Sang polwan hanya bisa mengangkat alis.