Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #27

Kuliner

Bungkusan bakso diletakkan. Alfi bergerak cepat menahan Imran yang berteriak menyerang pedagang bakso. Si pedagang tersentak, hampir menyentuh kompor. Imran berontak. Untung saja tenaga Alfi sudah cukup untuk mengatasi serangan dadakan itu.

Seisi warung terdiam. Ada pula yang mengeluarkan ponsel untuk merekam. Sang remaja labil terus meronta mengatai si pedagang bakso sebagai tukang santet. Rekan Alfi menyingkirkan pisau dari genggaman Imran, lalu bersama Alfi menarik anak itu keluar warung.

Untuk mencegah Imran kembali beringas, Alfi memberi ancaman akan menangkapnya. Mempan. Wajar saja, karena tindakan Imran tadi memang membahayakan orang lain. Anak semata wayang Pak Jamal itu akhirnya menurut saat dibujuk Alfi untuk pulang.

Ketika tiba di rumah, tentu saja orang tua Imran tak senang mendapat kabar kelakuannya. Terutama Pak Jamal. Pria berjanggut tipis itu naik pitam dan hampir melayangkan pukulan.

“Kamu mau bunuh orang, hah?!” 

Untung saja Ustaz Bahri dan dua rekannya mampu menahan Pak Jamal. Imran menangis. Remaja itu sesenggukan menjelaskan usahanya mematahkan santet demi menyelamatkan warung. Pak Jamal tak terima. Meski batal memukul, tetap saja ia mendamprat sang anak.

Urusan mendamaikan keluarga diserahkan pada Ustaz Bahri, sedangkan Sa’diyah dan Alfi lanjut pada kasus.

“Jadi, bagaimana warung baksonya?” tanya Sa’diyah.

Alfi menggeleng. “Kami baru memeriksa sekilas, sih. Tapi memang pedagang bakso di sana kurang meyakinkan untuk masuk daftar tersangka.”

“Jadi, kemungkinan persaingan bisnis kita hapus saja?”

“Sebaiknya jangan.” Alfi memasukkan tangan ke saku jaket. “Saya masih punya firasat kalau pelakunya gak jauh-jauh amat.”

“Petunjuk kita minim, Pak Alfi. Cuma ada kata ‘bakso’ dari jin yang merasuki istri Pak Jamal. Itu pun kata Ustaz Bahri, kita tidak boleh langsung menarik kesimpulan dari situ.”

Sungguh disayangkan. Pak Jamal yang terlanjur malu atas tingkah brutal anaknya malah termakan emosi, dan menolak melakukan rukiah lebih lanjut. Ustaz bahri diusir. Begitu juga para polisi dan anggota rukiah lainnya.

*** 

Sosok itu menutup pintu dengan kasar. Berbagai macam nama binatang ia gumamkan. Tangannya mengepal. Ruang tamu cat kuning menjadi saksi kemarahannya, sang pemilik rumah. Apalagi pengap dan sepi, sangat cocok untuk meluapkan emosi.

Ia ke kamar. Ruangan bercat putih pucat dengan gorden menghalangi jendela, menghasilkan remang nan sunyi. Telapak tangan tebalnya menggerayang ke bawah ranjang, meraih sesuatu. Bungkusan hitam.

Ponselnya mendadak berdering. Ada telepon dari kontak dengan awalan nama ‘Mbah’. Ia mengangkatnya. Sengaja sosok itu membuat suaranya terdengar serak agar penelepon tahu dirinya sedang marah.

“Santetnya gagal, ya?” tanya suara di ujung telepon. “Saya merasakan ada yang mengganggu.”

“Ada perukiah datang ke rumah orang itu. Sekarang gimana caranya biar mereka menyerah?”

“Wah, saya sudah lepas tangan,” jawab si Mbah.

“Saya bayarnya mahal, loh!” Sosok itu memukul ranjang. “Percuma saya sewa jasa Mbah kalau saya sampai gak dapat rumah itu.”

“Kamu ini terlalu polos. Memangnya kamu kira kenapa saya suruh menabur setengah dari tanah kuburan itu? Ya supaya bisa kamu pakai lagi kalau ada yang mengganggu. Sana, lakukan saja!”

Lihat selengkapnya