Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #28

Dimensi

Jemari beradu di papan ketik, mengisi keheningan malam. Kantor itu kosong. Hanya ada dia sendiri, di antara ruangan cat putih kekuningan yang mempertegas kesan hampa. AC masih menyala. Lampu bagian lain ruangan sudah padam, membiarkan gelap malam dari luar menembus jendela.

Tumpukan berkas di dekat komputer hanya membuatnya geram. Ia berhenti mengetik. Lelaki berwajah persegi itu meregangkan badan, lalu menghela napas melampiaskan rasa jenuh. Sekuriti kurus berkumis tipis datang memberitahunya bahwa kantor akan segera tutup, ia hanya mengiyakan.

Mata pegawai itu kembali fokus pada komputer, membiarkan sang sekuriti melanjutkan penyusuran ruang kantor. Lelah. Tatapan si pegawai lembur perlahan menjadi berat. Ia menyandarkan keningnya di meja, memejam sekadar ingin meringankan beban kepenatan.


Lalu, ada yang mencolek lehernya.


Si pegawai lembur membuka mata. Terheran ketika mengangkat kepala dan menemukan di sekitarnya tak ada siapa-siapa. Dipanggilnya sekuriti. Namun, tak ada jawaban. Tanda bahwa sang sekuriti kembali ke area itu juga nihil, membuat si pegawai lembur kembali menghela napas.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan. Pekerjaan bisa dilanjut besok, pikir si pegawai. Waktunya pulang. Ia mematikan komputer, lalu mulai berkemas. Tak sedikit pun ketakutan tampak di wajahnya bahkan setelah colekan misterius tadi.

Untuk sesaat, ia menoleh ke bagian lain ruangan yang sudah diraih remang. Kosong. Tak ada lagi jejak manusia. Si pegawai beranjak meninggalkan pemandangan itu.

Kala ia berjalan menuju koridor yang masih terang benderang, barulah lelaki itu berhenti pada langkah keempat. Ada orang lain. Membungkuk menyamping jauh di ujung sana. Figur samar, tak bisa dipastikan apakah si pegawai harus memanggilnya ‘Pak’ atau ‘Bu’.

“Maaf ... cari siapa, ya?” tanya pegawai itu dengan sopan.

Figur itu tidak menyahut. Hanya terus berada di posisinya. Suara kaca diketuk membuat si pegawai menoleh sekilas, lalu menemukan sosok barusan sudah menghilang.

Si pegawai memandangi ujung koridor cukup lama, lalu memutuskan untuk mengabaikan kejadian tadi. Ia lanjut berjalan. Semuanya lancar hingga ia mencapai daun pintu. Si pegawai berkedip. Perlahan ia menoleh ke kiri.

Sang sekuriti sudah terduduk tak bernyawa, tersandar di tembok dengan mulut dan perut berdarah.

Barulah si pegawai lembur membeliak. Tangannya tertahan di gagang pintu. Ia berkedip. Kali ini pemandangan mengerikan tak menghilang. Satu kesimpulan terbentuk. Sang sekuriti benar-benar menjadi korban pembunuhan.

Lalu ketika pegawai itu menengok ke belakang, sosok misterius tadi berada tepat di dekatnya. Lebih jelas. Sosok berpakaian cokelat, kulit penuh lumpur kering. Di balik rambut berantakan sosok itu, ada wajah mengerikan dengan satu bola mata mencuat keluar dan lidah panjang yang menjulur.

*** 

Berkas kasus diletakkan di atas meja. Masih pagi. Kantor Divisi Astral yang berbau tinta spidol diisi empat orang, termasuk Alfi dan Sa’diyah. Sang polisi berkulit kuning langsat lalu duduk di pojok ruangan menikmati donat gula, sementara rekan-rekannya bergantian membaca berkas.

Alfi menelan donat. “Satu-satunya saksi di sana memberi keterangan bahwa hantu yang membunuh sekuriti itu.”

Lihat selengkapnya