Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #30

Karyawan

Sang polwan terus memutar ulang pesan video rekaman CCTV. Alfi menunggu. Pria berkulit kuning langsat itu berkacak pinggang di teras kafe, menunggu rekannya menyimpulkan sesuatu. Sa’diyah menggeleng, menggigit jempol.

Ada beberapa hal mereka peroleh. Bos perusahaan asuransi bertubuh tambun. Yang mana artinya, ia dihabisi oleh seseorang dengan tenaga lebih besar. Sa’diyah bingung. Bagaimana mungkin pelaku sebesar itu tak meninggalkan jejak apa pun di mobil?

Demikian juga kejadian di kantor. Sang sekuriti seakan tak sempat memberi perlawanan. Namun begitu, penyebab kematian kedua korban masih tergolong bisa dilakukan manusia. Tangan hitam. Itu merupakan penuntun pertama mereka menuju tersangka.

“Kalau kamu mencari bagian di mana Yuda bertindak, itu akan sia-sia,” kata Alfi. “Dia hampir lima jam depan komputer setelah makan siang.”

Sa’diyah masih menatap layar ponsel. “Kita butuh nama orang-orang yang pulang kantor sebelum Yuda. Salah satunya pasti pemilik tangan hitam itu.”

“Sudah ada juga, kok.” Alfi memeriksa ponselnya. “Tapi dari hasil rekaman, pas Yuda mulai lembur, karyawan terakhir pulang kerja setengah jam sebelum tangan hitam itu muncul.”

Sa’diyah berhenti memutar rekaman. Ia berkedip. Sang polwan menoleh ke rekannya, lalu memperlihatkan layar smartphone. “Kalau begitu, yang ini siapa?”

Wajah Alfi awalnya santai berubah lebih fokus. Alisnya terangkat. Tanpa menunggu lama, ia menghubungi anggota Divisi Astral yang masih ada di perusahaan asuransi. Meminta memeriksa daftar nama karyawan.

*** 

Sepasang saudara kembar itu duduk berdampingan di kursi rumah duka. Pakaian mereka rapi. Selaras dengan puluhan pelayat lain di bawah tenda hitam. Berbeda dengan para tamu yang memasang ekspresi sedih atau setidaknya simpati, mereka berdua tampak biasa saja.

Namun, tentu saja tidak semua orang di sana menghabiskan waktu berkabung. Di belakang sepasang saudara kembar itu, tiga laki-laki setengah berbisik. Yuda jelas mendengarnya. Demikian pula Yuyun yang mulai kesal ketika tahu para lelaki itu jelas membicarakan sang saudara tersayang.

Yuyun menengok. Wajahnya judes. “Minimal kalau mau ngomongin orang, tuh, di depan mukanya. Jangan kayak pengecut.”

Tiga lelaki itu masih tersenyum tanpa rasa bersalah. Bercanda, dalih mereka. Tentu saja Yuyun tak terima dengan cara tiga lelaki itu meluapkan kesenangan. Sementara Yuda hanya terus menarik saudarinya, mengingatkan bahwa mereka masih berada di rumah duka.

Alih-alih berhenti, perdebatan kecil itu mulai berubah jadi saling ejek. Untung saja pelayat sekitar tak terlalu peduli. Yuyun masih geram. Sementara tiga lelaki itu belum puas membicarakan Yuda. Salah satu dari mereka tersenyum angkuh, mengarahkan pandangannya pada sang karyawan indigo.

“Yang satu tingkahnya kayak preman, yang satunya ngaku indigo. Emang iya, Yud? Apa benar kamu bisa lihat apa yang kami gak bisa lihat?”

Yuda menengok sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, begitulah.”

Lelaki itu bersandar di kursinya, menyilangkan tangan. “Katanya, ada ‘teman’ yang kasih tahu kamu kalau Pak Satpam sama Pak Bos bakalan meninggal. Ajak dia ngobrol, dong.”

Yuda berusaha menolak halus. Tentu saja ia tahu permintaan barusan tak lebih dari sekadar ledekan. Berbeda dengan Yuyun. Wanita itu masih memandang ketus pada sang pemberi instruksi.

“Gak apa-apa, Yud,” ucap Yuyun. “Tanya aja ke teman kamu. Kali aja yang meninggal berikutnya salah satu dari tiga kunyuk ini, ‘kan?”

Sekali lagi Yuda berusaha menjauhkan diri dari debat tak berguna itu. Ia menghela napas. Ketika ia menoleh ke saudarinya, Yuda tertegun. Tiga makhluk halus yang sejauh ini berinteraksi dengannya kini berdiri di dekat Yuyun. 

Lihat selengkapnya