Angin berembus pelan di bawah cahaya bulan purnama. Sepi. Hanya ada suara dentingan besi perkakas sesekali menyentuh onderdil truk. Kendaraan besar itu terparkir di depan sebuah kebun pisang luas berpagar seng.
Pengguna truk ada dua orang. Satu pria kurus sedang fokus di kolong kendaraan, berkutat dengan bagian yang bermasalah. Sedangkan satu pria lagi berperut buncit, menunggu di samping ban kalau-kalau rekannya butuh bantuan.
Awalnya semua tentang perbaikan truk. Meminta obeng dan kunci pas. Hingga si pria buncit mulai dibisiki godaan saat melihat lambaian daun pisang.
“Makan pisang enak kali, ya?” ujar pria buncit.
“Lu mau nyolong?” sahut sang rekan di bawah truk. “Gak usah macam-macam, deh! Kita selesaikan dulu ini mobil, biar cepat pulang.”
Si pria buncit hanya mendengkus. Bahkan ucapan rekannya yang menakut-nakuti tentang kebun pisang di bawah gelap malam tak ia hiraukan. Terlanjur penasaran. Pria buncit itu lantas beranjak ke sisi sebelah truk, lalu menggunakannya melewati pagar.
Tentu saja suara seng dipijak sampai pada telinga pria kurus. Terlambat. Kala pria kurus berlumur oli itu keluar dari kolong mobil truk, rekannya yang badung sudah berhasil melompat ke dalam kebun pisang. Hanya beda satu detik.
Pria kurus bertolak pinggang. “Mar! Oi, Mar! Ah, sialan lu, mau bikin kita diteriaki maling?”
Gelisah si pria kurus terinterupsi. Ia menoleh. Sebuah radio terletak di dekat roda depan truk, membunyikan alunan musik tahun 2000-an. Pria kurus mengernyit menelan ludah karena pemandangan itu jelas tidak wajar.
“Jika kau ... dengar hatiku ....
Berbisik memanggil ... namamu”
Di dalam kebun, si pria buncit sudah mulai melancarkan aksi. Ia menyelinap. Alunan lagu dari luar tak terlalu jadi perhatiannya. Pria lapar itu mengendap-endap di antara pohon pisang, mengawasi jika kebun sedang dihuni orang lain yang menjaga. Aman.
Sampai akhirnya, salah satu pohon memikat pria buncit. Cahaya bulan membantu menampakkan tandan penuh buah kuning. Masalahnya satu. Pria itu lupa membawa pisau untuk memetik pisang. Namun, rasa ingin mencicipi tak membuatnya menyerah.
Desir lembut angin membelai leher pria buncit. Rumput basah berbunyi kala diinjak, beradu dengan lagu Minoru. Langkahnya terhenti. Ada sebuah lilin menyala dikelilingi lingkaran putih.
Pria buncit mengernyit. Di dekat lingkaran itu, muncul sepasang kaki bersandal, membuat pria buncit terkejut. Ia mendongak. Sosok gondrong berpakaian serba hitam sudah berdiri. Penyihir.
Si pria buncit tak sempat berteriak. Ia dicekik. Cahaya bulan menampakkan seringai angkuh sang penyihir. Hawanya terlalu mencekam. Kurang dari dua puluh detik, pria buncit berubah kering seperti mumi, lalu terjatuh ke tanah kebun.
***
Berkas diletakkan di atas meja, menampakkan foto-foto korban. Masih pagi. Suara sibuk terdengar di balik pintu. Komandan duduk di singgasananya, berwajah tenang menghadapi Sa’diyah yang berdiri dalam posisi istirahat.