Padahal jam baru menunjukkan pukul sebelas siang. Namun, rasa kantuk sudah menghampiri Sa’diyah yang baru keluar dari kamar jenazah bersama Alfi. Langit cerah. Angin juga tidak sepoi-sepoi. Beratnya mata monolid sang polwan adalah hal di luar kebiasaan.
“Mentang-mentang dari kamar jenazah, kamu mau ikutan baring bareng mereka?” Alfi tertawa.
Tak ada respons dari Sa’diyah. Alfi cukup yakin leluconnya tidak terlalu garing, sehingga bisa langsung yakin ada yang salah pada sang rekan. Mungkin hanya lelah. Ketika Alfi bertanya, barulah Sa’diyah menjawab baik-baik saja dengan nada agak ketus.
Seiring langkah menuju lobi rumah sakit yang dipenuhi perawat, Alfi terus bicara tentang pola serangan baru. Mereka harus cepat. Meski masih ada dua hari sebelum kemungkinan penyihir melanjutkan aksinya, polisi Divisi Astral tidak punya waktu berleha-leha.
“Penyihir itu pasti tahu kalau kita bisa membaca pergerakannya,” kata Alfi. “Makanya dia memilih lokasi baru yang bukan punya Haji Ghani.”
“Ya ....” Sa’diyah menyipitkan mata, pandangannya fokus ke pintu di ujung lobi.
Ketika Alfi mulai menyerempet ke masalah lagu yang diperdengarkan ke Haji Ghani, Sa’diyah sudah tak memberi perhatian. Ada orang lain. Sosok siluet mencurigakan di kejauhan, tak menarik perhatian para penghuni rumah sakit kecuali sang polwan berjilbab.
Agak samar, tapi bentukan siluet itu jelas berambut panjang. Sa’diyah melotot. Kala sosok mencurigakan mengangkat tangan kiri seperti menyapa, sang polwan berjilbab lantas memotong penjelasan Alfi.
“Dia di sini!”
“Hah?” sahut Alfi.
“Penyihir itu di sini!” Sa’diyah bergegas menuju pintu.
Alfi menyusul. Tidak butuh waktu lama baginya memproses perkataan Sa’diyah. Masalahnya, pria berkulit kuning langsat itu belum melihat sosok yang dimaksud. Mereka terus berlari. Teguran perawat tak dihiraukan.
Sementara target Sa’diyah menyingkir dari pintu, melesat ke sebelah kanan. Pengejaran berlanjut. Sang polwan berjilbab mendapati jalur yang dilalui sosok itu adalah tangga menuju lantai atas. Tanpa ragu, Sa’diyah menempuh jalur serupa.
Hanya ada warna putih di kanan-kiri Sa’diyah. Tangga itu minim cahaya matahari dan tak terlalu luas. Sa’diyah terus berlari. Lantai dua ... lantai tiga ... lantai enam .... Polwan berjaket hitam itu seakan tak kehabisan tenaga melihat ujung jubah targetnya di putaran tangga selanjutnya.
Berbeda dengan Alfi. Pria itu sebenarnya juga punya kemampuan fisik cukup untuk menyusul. Hanya saja, sikap sang rekan membuatnya kebingungan. Saat mencapai anak tangga lantai lima, ponsel Alfi berdering menginterupsi. Telepon dari Ustaz Bahri.
Alfi mengangkat telepon sambil berlari. “Maaf, nih, Pak Ustaz, saya lagi buru-buru. Ada apa?”
“Maaf, Pak Alfi,” sahut Ustaz Bahri tenang. “Bagaimana keadaan Bu Sa’diyah?”
“Tadi dia kelihatan capek banget, sih, Pak Ustaz. Sekarang malah dia bisa naik tangga sampai berlantai-lantai.”
Di teras markas, tempat Ustaz Bahri berada, lelaki berjenggot rapi itu mulai memasang wajah khawatir.
“Yakin dia cuma capek? Soalnya saya habis ketemu Komandan. Katanya, Bu Sa’diyah membentak. Menurut saya, itu lebih dari sekadar capek, Pak Alfi.”
Percakapan harus berakhir ketika Alfi mendengar teriakan ramai dari lantai atas. Alfi lekas lanjut. Saat ia sampai pada sumber keributan dan bertanya pada seorang suster, jawaban yang muncul adalah ada perempuan berlari mengacungkan pistol.