Mereka berdua berteduh di bawah naungan terpal pedagang bakso agak jauh dari rumah sakit. Alfi mentraktir. Polisi berwajah kotak itu kembali bersikap santai pada rekannya yang masih merasa bersalah. Sambil menunggu pesanan, Alfi memulai ceritanya.
Semua berawal dari laporan warga tentang orang dan aktivitas mencurigakan di sekitar gedung bekas pabrik konveksi. Polisi sudah memeriksa. Namun, melihat hal tidak wajar di TKP seperti tumpukan bunga seroja dan instrumen santet lainnya, mereka melimpahkan kasus itu ke Divisi Astral.
Dan malam itu pun tiba. Seperti biasa, Letnan Aziz mengirim setengah anggota divisi untuk menyergap pelaku menjelang aksinya. Namun, naas. Letnan Aziz salah perhitungan, mengira pelaku ilmu hitam di sana levelnya juga sama layaknya dukun lain.
“Jadi, yah ....” Alfi menunduk menatap mangkok bakso yang baru saja datang. “Kamu sudah tahu kelanjutannya.”
“Itu tidak menjawab pertanyaan saya, Pak Alfi,” sanggah Sa’diyah.
Alfi menggeleng, lalu menengok rekannya. “Kalau kamu tanya siapa penyihir itu sebenarnya, saya juga gak tahu. Motif serangannya, ritual, semua belum jelas.”
“Terus selama tiga bulan ini, saya mengejar dendam tanpa tahu siapa identitas pelakunya?” Sa’diyah menatap Alfi tajam.
“Kamu gak pernah diminta bergabung untuk tujuan balas dendam, kok. Urusan dendam itu kemauan kamu sendiri.”
Dua polisi beda usia itu beradu pandang, siap mematahkan argumen satu sama lain. Namun, Alfi memutuskan mengalah ketika mengingat percakapan dengan Ustaz Bahri tentang Sa’diyah. Alfi menyantap bakso. Ketegangan pun perlahan mereda ketika Sa’diyah ikut menyantap hidangan.
Alfi menelan kunyahannya. “Sebenarnya, saya mau menyampaikan sedikit petunjuk dari Haji Ghani. Tapi saya mau memastikan sesuatu dahulu.”
Sang polwan berjilbab masih cukup kesal, dan tak ingin banyak berinteraksi. Ia menyeruput mi. Matanya hanya melirik sekilas pada pria kuning langsat di sebelahnya.
“Apa yang kamu lihat di aula tadi, Sa’diyah?”
Sa’diyah membiarkan garpunya tertancap pada bakso dalam mangkok. Ia diam. Belum sempat wanita itu memberi jawaban, azan Zuhur sudah berkumandang.
***
Langit mulai menguning, membawa panasnya angin sore yang tercampur polusi. Bising. Kemacetan pada jam sibuk membuat para insan pencari nafkah hampir gila di jalanan. Namun, itu pemandangan biasa di kota.
Puluhan kendaraan bermotor itu melalui sebuah jembatan dengan pembatas baja kuning. Di bawahnya, ada kanal air besar tercemar sampah, simbol pemerintah dan warga yang tak peduli. Ada kehidupan. Selain rumput hijau pucat kasar, seseorang tampak berteduh di kolong jembatan.
Namanya jam sibuk, semua kalangan menempuh kegiatan masing-masing. Entah menuju rumah, baru mau mencari uang, atau langsung bersenang-senang. Termasuk anak jalanan. Lima lelaki remaja berkulit kumal tertawa riang, bercanda mencaci satu sama lain di jalur pinggir kanal.
Salah satu dari lima anak jalanan mengernyit ketika melihat seseorang yang sekilas berpenampilan urakan di kolong jembatan. Aneh. Dilihatnya sosok itu tampak sedang mengelilingi satu titik, lalu duduk bersimpuh menghadap air.
Anak jalanan itu menyeringai. “Eh, ada orang gila, tuh. Gangguin, yuk!”
Teman-temannya setuju. Mereka berjalan santai menghampiri orang di kolong jembatan, berpura-pura nongkrong. Sengaja para remaja itu mengobrol dengan gaduh untuk mengganggu konsentrasi target keusilan mereka.