Sekitarnya masih sunyi. Entah mengapa, ruang tamu itu tampak sedikit kebiruan. Sa’diyah ternganga. Ia hendak mengucek mata yang serasa tak sanggup berkedip, tapi tangannya juga enggan bergerak dari tumpukan dokumen. Sang polwan hanya duduk, memandangi wajah pucat ayahnya.
“A-ayah?” ucap Sa’diyah dengan gemetar.
“Sa’diyah ...,” sahut Letnan Aziz.
Mata sang polwan mulai berkaca-kaca. Sementara lawan bicara di hadapannya juga tak menorehkan senyum bahagia. Reuni yang janggal. Tentu saja Sa’diyah punya banyak hal untuk ditanyakan, tapi semuanya seakan tak sanggup diucap.
“Sa’diyah ...,” sekali lagi Letnan Aziz memanggil putrinya.
Tangis Sa’diyah pun mulai pecah. “Iya, Ayah?”
“Sa’diya—” suara Letnan Aziz mendadak berubah semakin berat dan mengerikan.
Polwan itu terbelalak. Rupa ayahnya mendadak berubah tirus dan kering, dengan bola mata putih serta mulut menganga lebar. Tangan Letnan Aziz hendak mencengkeram putrinya. Saat itulah Sa’diyah terbangun.
Ya. Itu adalah mimpi berlapis. Napas Sa’diyah sekali memburu, lalu perlahan normal ketika mendapati ruang tamu kembali ke warna semula. Sang ayah juga sudah tak ada di hadapannya. Sa’diyah mendongak. Hatinya mengutuk bunga tidur barusan.
***
Tiga ketukan mendarat di pintu apartemen itu sebelum penghuninya membukakan. Yuda. Pria indigo itu menyambut tamunya dengan tatapan tak enak hati. Ekspresi Sa’diyah sama datarnya, kemudian dipaksa menjadi senyum simpul.
Awalnya Yuda enggan melakukan kontak mata. Namun, mendengar nada bicara Sa’diyah yang seakan butuh bantuan, Yuda pun bersedia diajak bicara. Pintu ditutup. Mereka beranjak menuju kafe kecil dekat gedung apartemen.
“Kamu tidak ke rehabilitasi rukiah?” tanya Sa’diyah setelah menyesap es teh lemon.
Yuda menggeleng. “Kalian memang bilang kalau saya ini diganggu. Tapi ... Yuyun sudah dipenjara. Teman saya untuk bicara, ya tinggal mereka yang tidak bisa kalian lihat.”
Namun, penggalan kalimat terakhir Yuda tak berlaku bagi sang polwan saat ini. Sa’diyah terbeliak. Wanita berjaket biru itu berusaha menghindari pemandangan mengerikan di pojok kafe, di mana seorang perempuan dengan setengah wajah hancur sedang berdiri.
Si pria indigo tentu saja menyadari gestur tidak nyaman Sa’diyah. Yuda menoleh. Kala makhluk halus berwujud mengerikan ikut tertangkap oleh matanya, barulah Yuda menyadari maksud kedatangan sang polwan berjilbab.
Yuda tersenyum ramah. “Bu Sa’diyah bisa coba hidup berdampingan dengan mereka.”