Pada kenyataannya, tidak ada apa pun di dalam kamar, kecuali perabotan yang wajar dan tiga lubang peluru pada tembok biru. Mulut pistol berasap. Sa’diyah masih berdiri di ambang pintu dengan tatapan datar disertai napas beraturan.
Sa’diyah kemudian berbalik, mengalihkan pandangannya dari kamar yang tak lagi berpenghuni. Matanya mulai berair. Bukan tanpa alasan, melainkan karena sadar kamar itu membawa kenangan sosok sang ayah.
Tak lama kemudian, terdengar ramainya obrolan manusia dari lantai bawah. Sa’diyah memeriksanya lewat teras balkon. Luar pagar rumahnya sudah dikerumuni tetangga yang jarang ia ajak berinteraksi. Wajar. Suara tembakan tadi tentu mengundang rasa penasaran.
“Ada apa, Mbak Sa’diyah?” tanya Pak RW bertubuh gempal setelah sang polwan turun menemuinya dan para warga.
“Gak ada apa-apa, Pak Yahya,” jawab Sa’diyah tanpa senyum. “Tadi saya kira ada maling masuk.”
Bisik-bisik masih terdengar antara para ibu di belakang Pak RW. Sa’diyah mencoba abai. Namun, telinga sang polwan yang biasanya tidak mau ambil pusing kini malah menangkap sesuatu dari bisik-bisik mereka.
“Ya udah risiko, sih. Orang yang gak punya siapa-siapa lagi, mana tahu di luar sana kerjaannya ngapain, ‘kan?”
“Bu, kalau gak suka sama saya, gak usah fitnah, ya!” sergah Sa’diyah.
Ibu-ibu tertegun. Begitu juga Pak RW yang agak terkejut. Mereka melirik satu sama lain sebelum menatap sang polwan dengan wajah heran.
“Siapa yang lagi ngomongin Mbak Sa’diyah?” tanya salah satu ibu-ibu.
Giliran Sa’diyah terperangah. Polwan berjilbab itu kemudian masuk ke dalam ruang tamu, meninggalkan Pak RW dan warga yang masih sama bingung. Pintu ditutup. Kali ini, bisa dipastikan Sa’diyah benar-benar akan jadi bahan omongan.
***
Warga di TKP kian berjibun, nyaris merepotkan petugas yang mengangkut kantong mayat berisi tubuh wanita kering menuju ambulans. Matahari kian terik. Para pemegang smartphone berusaha keras menjadi wartawan dadakan.
Sementara di teras rumah kosong, lima anggota Divisi Astral juga masih berusaha. Apalagi Alfi yang harus berpikir keras di tengah waktu makin menyempit. Petunjuk minim. Belum ketemu koneksi antara kebun pisang dan rumah itu.
Pacar korban juga hendak ikut digiring keluar. Lelaki itu menolak. Takut, alasan tepatnya. Berulang kali ia meyakinkan polisi bahwa bukan dirinya pelaku pembunuhan. Para petugas percaya. Namun, ketakutan si lelaki adalah wajar mengingat tadinya ia memang akan berbuat asusila.
“Udah, ikut aja,” bujuk salah satu polisi. “Kami cuman mau minta keterangan lebih lanjut.”
“Jangan, Pak! Sumpah, saya gak tahu apa pun! Orang lain juga sering ke sini buat gituan. Jadi, saya cuma ikutan pakai tempat ini, Pak.” Lelaki itu mulai merengek.
Prosedur tetaplah prosedur. Lelaki itu juga tak berani melawan kala seorang polisi kekar dengan lembut mengangkatnya berdiri. Sesuai janji. Si lelaki hanya akan dimintai keterangan, maka tak ada borgol. Sayangnya, rengek lelaki itu malah berubah jadi tangis.
“Tunggu sebentar!” Alfi menahan petugas yang hendak membawa si lelaki kurus.
Petugas pun setuju untuk menyerahkan si lelaki kurus ketika Alfi memberi isyarat. Bukan tanpa alasan. Selain karena tangisan yang kemungkinan besar akan membuat jengkel, sang polisi berwajah kotak ingin mencoba satu kemungkinan.
“Seberapa banyak kamu tahu tentang tempat ini?” tanya Alfi. “Selain jadi tempat buat indehoy, maksud saya.”