Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #37

Familier

Salah seorang anggota Divisi Astral membuka pintu kantor, membawa sekantong minuman dingin untuk dinikmati bersama Alfi dan enam rekan lainnya. Jam sepuluh. Para polisi itu saling bertukar informasi mengenai gerak-gerik sang penyihir dan memulai prediksi arah serangan selanjutnya.

Sa’diyah duduk di dekat laci, mendengarkan pemaparan teori singkat tiap anggota. Lumayan menarik. Hingga akhirnya Sa’diyah mengernyit ketika tiba giliran Alfi menjelaskan apa yang sudah mereka peroleh pada penyelidikan baru-baru ini.

“Anggap saja kemarin itu kita beruntung. Modal petunjuknya hanya tentang pisang. Dua kebun dan satu rumah produksi keripik. Di peta, ketiganya berada dalam satu garis lurus.”

Sa’diyah mengangkat tangan. “Maaf, tapi sekalipun ketiganya berhubungan dengan pisang, bukannya ini masih terdengar terlalu kebetulan?”

“Makanya saya bilang, kita cuma beruntung.” Alfi menyilangkan tangan. “Tahu tempat apa yang ada empat kilometer dari lapangan itu?”

“Toko brownies pisang,” sahut anggota lain.

Alfi mengangguk. Polisi berwajah kotak itu kemudian menuju papan tulis putih di dinding. Ia menghapus tulisan di sana, lalu mulai menorehkan empat nama menggunakan spidol baru.

“Kita juga tahu nama-nama terkait TKP. Purwanto di kebun pisang pertama, Kusuma di rumah kosong, dan Edi Salman di kebun pisang pinggir lapangan.” Alfi kembali menghadap rekan-rekannya. “Saya yakin nama mereka juga ada pengaruhnya. Itu yang perlu kita cari.”

*** 

Sejuknya AC dalam kafe bernuansa serba cokelat membuat hati pengunjung ikut merasa sejuk. Termasuk Haji Ghani. Sang pria tua gemuk sudah tak terlalu berduka, kini melewati pagi menjelang siang bersama secangkir kopi susu, sepiring kentang goreng, serta enam teman bisnisnya.

Tak ada lain dari mulut para pria di meja itu kecuali tentang uang dan niaga, sesekali diselipkan lelucon berbau rumah tangga. Haji Ghani tertawa. Hari ini, Haji Ghani memakai kemeja putih sehingga harus berhati-hati ketika menyeruput kopi.

“Jadi, bagaimana bisnisnya, Pak Haji?” tanya salah satu teman Haji Ghani. “Lancar?”

Haji Ghani menghela napas. “Yah ... isu pembunuhan kemarin memang sempat bikin repot, tapi alhamdulillah sudah mulai lancar lagi.”

Pembicaraan itu terus berlanjut hingga menyerempet ke pertanyaan siapa pelakunya. Haji Ghani jujur mengatakan tak tahu.

Hingga ketika Haji Ghani kembali menyeruput kopi susu, cangkir itu dibiarkan menempel di bibir agak lama. Matanya memicing. Ia menemukan sosok gondrong berpakaian serba hitam di luar kaca kafe. Haji Ghani terus memandangi sosok itu karena merasa familier.

Pria gondrong di luar kaca lantas melambai pelan. Di balik rambut berantakannya tampak sebuah senyuman yang membuat Haji Ghani mendadak merasa tak tenang. Ia masih melambai. Anehnya, seakan hanya sang haji yang menyadari kehadiran sosok itu.

Perlahan, Haji Ghani meletakkan cangkir kopinya di meja. Matanya tetap fokus mengamati sosok serba hitam. Haji Ghani bergumam. Keberadaan sang pria misterius sudah cukup untuk melantunkan zikir tanpa suara. 

Lihat selengkapnya