Gang kecil itu kini sesak oleh kerumunan manusia penasaran. Sudah ada polisi. Salah satu anggota tim penyidik mengamankan anjing penjaga yang tampak ketakutan. Cahaya matahari jam delapan pagi kian memperjelas tampilan mengerikan korban di dinding.
Sa’diyah juga hadir. Dengan kondisi korban, sudah pasti ia dan dua rekannya dari Divisi Astral harus ikut menginvestigasi. Semua dicek. Sang polwan mengernyit ketika tim penyidik menyerahkan temuan selembar resep obat asam lambung di saku celana korban.
Alfi mendekati rekan berjilbabnya yang tampak kebingungan dan gusar memandangi kertas resep. Itu wajar. Setelah petunjuk tentang koneksi TKP serta nama para pemiliknya, kemunculan resep obat itu bisa dibilang terlalu random dan terlalu kebetulan.
Belum lagi korban terbaru sekaligus pemilik rumah adalah seorang montir, tak punya keterkaitan apa pun dengan pisang.
“Bisa jadi ini pengalihan lagi,” kata Alfi. “Nama ketiga korban tidak ada yang cocok dengan resep obatnya.”
“Entahlah, Pak Alfi. Ini terlalu totalitas. Maksud saya, buat apa penyihir itu iseng memasukkan benda ini ke saku celana korban?” Sa’diyah menghela napas. “Klinik dan apotek pengambilan resepnya bilang apa?”
“Ya, gak ada. Cuma konfirmasi kalau memang resep itu dari mereka. Para pasien yang ambil obat juga sudah ditanya, dan mereka tidak tahu menahu.”
Sang polwan menggeleng. “Pola elemennya juga gak masuk akal. Rumah ini gak melambangkan apa pun.”
Alfi mengangkat alis. “Ini dugaan saya aja. Siapa tahu jiwa mahasiswa penyihir itu masih ada, dan dia berniat menyampaikan sebuah pesan.”
Sa’diyah diam, kemudian melirik Alfi. “Apa cerita Haji Ghani soal masa lalu si penyihir memang cuma sampai di situ?”
Pertanyaan Sa’diyah membawanya dan Alfi menuju rumah Haji Ghani. Seperti biasa, istri sang pria tua menjamu tamu dengan baik. Teh dihidangkan. Haji Ghani sendiri duduk di singgasananya dengan wajah terkejut.
“Dia sudah meninggal?”
“Dari data kependudukannya bilang begitu, Pak Haji,” jawab Alfi.
Haji Ghani diam. Wajah terkejut itu mulai berubah gelisah, membuat Sa’diyah dan Alfi menerka-nerka. Setelah beberapa detik, barulah sang haji menuturkan tentang kehadiran sosok misterius ketika ia sedang ada di kafe kemarin.
Namun, Sa’diyah dan Alfi tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan karena ada sesuatu yang lebih mendesak saat ini.
“Sekarang kami mau minta bantuan Pak Haji,” ucap Sa’diyah. “Ada petunjuk yang harus kami cari tahu hubungannya.”
Sa’diyah memperlihatkan resep obat pada Haji Ghani. Petunjuk dipaparkan. Tentu saja dua polisi itu cukup ragu sang pria tua bisa melihat korelasi antara pisang dan asam lambung. Namun, sepertinya mereka keliru, sebab Haji Ghani menghentikan cangkir teh menyentuh bibirnya.
“Kenapa, Pak Haji?” Alfi cengengesan. “Pak Haji kenal orang yang asam lambung karena makan pisang?”