Terik matahari siang membuat stres para penghuni jalan. Berisik. Asap knalpot ratusan kendaraan terburu-buru mengisi paru-paru pejalan kaki dan pedagang kaki lima, membuat kota tak lebih dari wadah penampung polusi.
Di antara hingar bingar lalu lintas, seorang pria bertopi merah dibasahi keringat mendorong gerobak birunya. Pedagang bakso. Dengan hati-hati ia melangkah, menjauhi keramaian menuju lorong sebelah kiri.
Tukang bakso itu terus berjalan. Sesekali ia mengembuskan napas lelah, sembari memukul-mukul mangkoknya dengan sendok. Masih terik. Namun, setidaknya tidak banyak kendaraan melalui lorong itu, sehingga tidak membuat telinga sakit.
“Bakso!”
Panggilan dari kejauhan membuat pria bertopi merah menengok. Suaranya datang dari lorong yang lebih kecil lagi di sebelah kanannya. Matanya memicing. Tak terlihat siapa pun, membuat sang pedagang bakso mengira salah dengar.
“Oi, bakso!”
Sang pedagang kembali menoleh. Sebaiknya itu bukan prank, pikirnya. Ia pun mulai mendorong gerobak menuju lorong kecil. Langkahnya cepat. Dua kali panggilan pertanda pelanggan tak boleh menunggu lama. Untung saja lorong kecil itu tak sepanas dua jalur sebelumnya.
Hingga datanglah satu masalah karena panggilan itu tak terdengar lagi. Pun dengan pemilik suara tak juga menampakkan diri berada di rumah yang mana. Pedagang menghela napas. Rasa kesal membuatnya berbalik badan, lalu bersiap membawa gerobak dengan cara ditarik.
“Mas bakso ...,” tegur pemilik suara tadi mengejutkan pria bertopi merah.
Lorong kecil itu sempit dan sepi. Pria gondrong berpakaian serba hitam berdiri di rumah putih kusam, tepat di sebelah gerobak sang pedagang bakso. Itu penyihir. Si pria bertopi merah mengernyit karena mengira sedang berhadapan dengan orang gila.
“M-mau bakso, Bang?” tanya si pedagang agak gugup.
Penyihir mengangguk. Untuk mengatasi kecurigaan sang tukang bakso, selembar uang sepuluh ribu ditunjukkan. Pria bertopi merah pun mulai mempersiapkan pesanan sambil sesekali memandangi si penyihir yang masih tak menunjukkan wajah.
Berbagai pertanyaan diajukan pedagang terkait pesanan. Aneh. Si penyihir yang tadinya bersuara keras saat memanggil, kini hanya bisa mengangguk, menggeleng, serta memberi isyarat dengan jari jika ditanya tentang jumlah.
Semangkok bakso disajikan. Penyihir pun membayar lalu duduk di depan pagar menikmati hidangan pesanannya. Sementara si pria bertopi merah melakukan aktivitas lain sambil menunggu mangkoknya kembali.
Angin siang berembus pelan mendinginkan kulit pedagang bakso yang bermandikan peluh. Ia tersenyum. Setidaknya dapat satu pelanggan meskipun orangnya agak aneh. Tak ada kendaraan lewat, tapi pria itu memilih untuk memecah keheningan.
Pria bertopi merah itu lantas mengernyit kala menemukan kehadiran objek tak lazim di pinggir paving block dekat gerobaknya. Lilin. Tak ada api yang menyulut atau embel-embel lainnya, hanya benda putih menempel berdiri tegak.
Suara mangkok diletakkan di pinggir gerobak membuat pedagang menoleh. Ia melongo. Tidak sampai 20 detik, hidangan berkuah yang cukup panas dan pedas sudah ludes tak bersisa. Dipandanginya sang penyihir yang masuk ke dalam rumah putih tanpa kata-kata.
Namun, bisnis tetaplah bisnis. Pedagang bakso tak ingin ambil pusing, apalagi setelah ada panggilan lain dari luar lorong kecil. Gerobak ditarik. Wanita yang memanggil tukang bakso lantas berteriak kala melihat api menjalari setengah gerobak.
***
Delapan anggota Divisi Astral berkumpul di kantor. Cahaya dari jendela menerangi garis spidol pada peta. Diskusi dimulai. Tidak ada debat kusir, hanya fokus pada rencana melawan penyihir sebelum ia berhasil menghabisi korban selanjutnya.
Seperti biasa, Alfi bertindak sebagai pemimpin diskusi.