Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #40

Sweets

Bel berbunyi. Matahari bersinar cerah menyambut keceriaan para anak SD yang ingin bermain di lapangan sekolah. Ada pula kumpulan penggiat kantin, bersiap mengeluarkan uang demi jajanan favorit. Ibu-ibu berjilbab mulai beraksi berebut pelanggan.

Ada satu kantin yang tampak sama sibuk. Anak kecil berkerumun. Jajanan di meja ada beraneka macam, tampak berwarna dan sangat menggiurkan. Sang pedagang sangat lihai melayani pesanan sekaligus menerima uang.

“Ini berapa, Bu?” tanya anak lelaki gembul sambil menunjukkan sebungkus wafer cokelat.

“Seribu,” jawab pedagang itu singkat.

Anak itu mengambil empat wafer, lalu membayar sesuai harga. Transaksi selesai. Si anak lelaki gembul meninggalkan kantin dengan rasa puas, lalu duduk di sebelah temannya yang duduk melantai menikmati angin pinggir koridor.

“Wih, beli empat,” ucap teman anak itu. “Bagi satu boleh, dong?”

Anak gembul memasang wajah mengejek. “Ogah!”

Tentu saja anak gembul itu bercanda. Ia memberi satu pada sang teman, dan mereka tersenyum bersama. Kemasan wafer disobek. Si bocah gembul yang tak sabaran segera melahap jajanannya. Sementara temannya tak langsung menyantap, melainkan bicara tentang game terbaru.

Namun, mulut si bocah gembul merasakan ada yang aneh. Sakit. Anak itu segera memuntahkan wafer yang dilumatnya barusan. Sang teman hanya bisa terheran. Rasa sakit anak gembul itu semakin menjadi ketika ia mencoba mengeluarkan sisa makanan dengan lidah.

Darah menetes. Objek asing nan tajam itu digeledah manual oleh si bocah gembul dengan tangan. Temannya tercengang. Dalam jepitan telunjuk dan jempol si anak gembul, serpihan silet muncul berlumur saliva. 

Tak butuh waktu lama bagi si bocah gembul untuk memproses bahwa dirinya terkena bahaya. Ia mulai gemetar. Kemudian semakin panik ketika melihat temannya ikut ketakutan.

Teman si anak gembul mulai gemetar, lalu berdiri cepat. “B-Bu guru!”

*** 

Berkas kasus diletakkan di atas meja, menampakkan foto kantin, benda tajam dalam makanan ringan, serta kondisi mulut si bocah gembul. Pemaparan dimulai. Sa’diyah bersama dua anggota Divisi Astral lainnya duduk menyimak Alfi berbicara tentang kejadian dua hari lalu tersebut.

“Kasus seperti ini pernah terjadi. Motif pelakunya melakukan itu untuk tolak bala. Bedanya, yang dulu langsung dikasih ke anak-anak, tidak dijual.”

Sa’diyah manggut-manggut. “Berarti yang ini cukup pintar. Menghilangkan kecurigaan dengan cara diselipkan ke dagangan orang.”

“Kapitalis dikit gak apa-apa.” Alfi tertawa, disusul anggota lain kecuali Sa’diyah.

Pemaparan pun dilanjutkan. Sang polisi berwajah kotak menjelaskan detail penting seperti pemilik kantin yang mengaku tak tahu apa-apa, juga tempatnya mendapatkan produk yang masih diperiksa. Belum cukup. Berhubung kasus telah dilimpahkan ke Divisi Astral, maka investigasi harus berlanjut.

“Sa’diyah dan Ikhlas, kalian ke kantin sekolahnya!” perintah Alfi. “Saya dan Anggun akan memeriksa distributor produk.

“Siap!” jawab ketiganya serentak.


Sesuai instruksi, sang polwan berjilbab dan rekan bernama Ikhlas meluncur menuju SD tempat kejadian. Jaraknya sembilan menit dari kantor. Keduanya mengernyit. Ketibaan dua polisi berjaket itu disambut dengan suara berisik seorang ibu murid yang memarahi pemilik kantin karena masih berani buka.

Sa’diyah dan rekannya bergegas mendekat. Kantin masih ramai. Selain ibu-ibu pemarah, siswa dan guru juga menonton. Kepala sekolah mencoba melerai. Pemilik kantin hanya bisa diam sembari membereskan dagangan dengan mata berkaca-kaca.

“Ya, ayo nangis! Kalau bikin salah harusnya memang gitu, menyesali perbuatan!”

“Cukup!” Sa’diyah menyela, membuat semuanya menoleh.

Lihat selengkapnya