Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #42

Ilusi

Suara keramaian teredam seiring Sa’diyah menutup pintu ruang interogasi. Alfi duduk, dengan santai memakan biskuit krim vanila di hadapan tersangka. Tempat itu dingin. Satu-satunya yang terlihat panas oleh emosi adalah si pria kurus berkulit cokelat.

Alfi menghabiskan kunyahan, lalu menengok ke Sa’diyah. “Bagaimana soal jajanan di SD itu?”

Sa’diyah mengangguk. “Anggun dan Ikhlas sudah ke sana mengurusnya. Mereka membawa tas Bapak ini untuk mencocokkan produk.”

Lalu tibalah saatnya untuk sesi tanya jawab dengan tersangka. Sekali lagi Alfi melahap sekeping biskuit. Sementara si pria berkulit cokelat masih memasang wajah tak senang.

“Jadi, Pak Suprapto ... kenapa melakukan itu?” Alfi melahap satu keping lagi.

Tak ada jawaban dari pria berkulit cokelat. Ia membuang muka. Alih-alih terkesan bodo amat dan mengintimidasi, pria bernama Suprapto itu malah terlihat seperti sedang menahan rasa takut, berusaha untuk tidak merengek.

“Kenapa, Pak? Kebelet?” Alfi berkelakar.

Suprapto mendengus. “Kalian gak ngerti apa-apa.”

Alfi terkekeh. “Waduh, di situ Pak Suprapto salah. Pengalaman kami di lapangan gak bisa bohong.”

Sa’diyah bersandar di tembok ruang interogasi, menyilangkan tangan. “Meneror, dengan barang bukti terkumpul di rumah. Membohongi petugas. Bersikap tidak kooperatif. Tinggal dibikin daftarnya, terus Bapak bisa makin cepat masuk penjara.”

Alfi masih terlihat santai dengan biskuit di tangan. “Dia serius, loh, Pak. Jadi, untuk apa Pak Suprapto melakukannya? Untuk tolak bala?”

Suprapto masih tak sudi menatap mata dua polisi di hadapannya. Nyalinya ciut. Di balik ekspresi masam itu, sang pria berkulit cokelat merasa terancam. Ia merasa sudah tak ada pilihan kecuali bersikap kooperatif.

“Saya mengejar keberuntungan,” jawab Suprapto.

Sa’diyah dan Alfi sama-sama mengernyit. Jawaban tersangka terdengar memiliki maksud serupa dengan pertanyaan sang polisi berwajah kotak. Suprapto membantah. Setelah dialog lebih dalam, barulah dua anggota Divisi Astral itu mendapat penjabaran keberuntungan.

“Usaha lancar, duit banyak, bebas utang ....” Suprapto memberi jeda. “Istri cantik, yang gitu-gitulah, Pak.”

“Pak Suprapto melukai anak-anak demi tujuan receh seperti itu?” tanya Sa’diyah sedikit menekan.

“Ya mau gimana lagi? Itu syarat yang dikasih ke saya!” Suprapto kembali bermuka masam. “Padahal tinggal sedikit lagi saya berhasil.”

Alfi manggut-manggut. “Ya, kalau begitu anggap aja Pak Suprapto lagi apes. Jadi, siapa dukunnya?”

Si lelaki kurus memberanikan diri melirik kedua polisi itu. Ia diam sejenak. Sekali lagi Suprapto menemukan dirinya tak punya pilihan, lalu mulai menghela napas.

Lihat selengkapnya