Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #43

Magrib

Langit sore mulai beranjak keemasan. Teriak keseruan anak-anak masih bisa terdengar di wilayah kecil pinggir kota. Ada layangan putus. Lima pasang kaki kurus beradu kecepatan di atas jalan setapak, dengan rintangan selokan dan tembok rumah warga.

Layangan itu lantas menukik ke belakang sebuah ruko hijau. Anak-anak berhenti. Mereka terengah melihat jarak dan rintangan yang memisahkan dengan barang buruan. Tak ada jalan lain kecuali memutar menuju ruko, sebab di hadapan mereka hanya ada lahan berumput tinggi dengan tanda kepemilikan.

“Yah ... jauh banget lagi,” keluh bocah berbaju kuning. “Pulang aja, yuk! Udah mau magrib.”

“Ih, jangan dulu!” tolak bocah bertopi terbalik. “Gimana nanti kalau layangannya ada yang ambil?”

Teman yang lain tak mau kalah. “Aelah, Jodi, layangan kecil doang! Cuma satu pula. Mending juga beli lagi.”

“Ya udah kalau lu pada gak mau. Buat gua, ya!” Bocah bertopi hitam menaik-turunkan alisnya.

“Terserah. Gua mau balik.” Anak berbaju kuning pun beranjak menuju gang bersama tiga bocah lain.

Demikianlah si bocah bertopi berpisah dengan keempat temannya. Perburuan dilanjutkan. Bocah penuh semangat itu berlari cepat melewati jalan setapak di belokan. Warga? Tak ada yang peduli dan tetap memilih di rumah masing-masing.

Anak itu terus berlari. Ia tak sempat menyadari kehadiran sosok bermata bulat yang berdiri di sebelah pohon ketapang. Senja semakin mendekat. Kesunyian kian menyelimuti kala ia menggapai tempat tujuan.

Di belakang ruko itu adalah sebuah gang, tembok pembatas lahan warna putih kusam di seberangnya. Hanya sedikit cahaya langit sore menerpa. Si bocah mulai mencari layangan. Ketemu. Benda buruan tersangkut pada kawat duri pembatas lahan.

Tanpa menunggu lama, bocah itu memanjat tembok. Hati-hati. Dipastikannya kawat tak merobek layangan. Anak itu mengeluarkan lidah, tanda konsentrasi berkutat dengan benang melilit. Dia terlalu fokus, hingga tak tahu sosok berpakaian hitam sedang berjalan pelan di belakangnya.

“Yes!” ucap bocah itu setelah berhasil turun dengan selembar layangan incarannya.

Sang bocah tertawa. Selebrasi kecil di antara kesunyian gang menjelang senja. Mulai gelap. Namun, kala bocah itu hendak melangkah pulang, ia terhenti ketika ada gema memanggil namanya.


“Jodi .... Jodi ....”

Anak itu celingak-celinguk mencari sumber suara. Tak ketemu. Sadar bahwa hanya ada ia sendiri di gang, mulai membuat bulu kuduknya berdiri. Nalurinya bekerja. Ketika kembali terdengar gema memanggil namanya, ia tahu harus segera pergi dari sana.

“Jodi,” panggil seorang pria ketika anak itu hendak berlari.

Sang bocah menengok ke belakang. Ia langsung pucat. Tak sanggup berpindah ketika mata bulat pria jangkung berpakaian serba hitam melotot padanya. Suara anak itu tercekat. Tangan besar si pria asing terangkat, lalu menyergap.

*** 

Ruang sidang tak diisi terlalu banyak orang. Ada tiga hakim, beberapa saksi, serta seorang pria tua berkemeja putih di tengah ruangan. Itu Ki Juhana, dukun kasus santet pasutri muda yang dihadapi Alfi dan Sa’diyah sekitar tiga setengah bulan lalu.

“Dengan dasar KUHP pasal 252 ayat 2 tentang perdukunan, maka terdakwa, Juhana Sutisna, dijatuhi hukuman lima tahun penjara.”

Lihat selengkapnya