Divisi Astral

Naufal Abdillah
Chapter #44

Gelap

Lampu di koridor penjara tak berbeda jauh dengan tiap sel, menyala tapi tak terlalu cerah. Dinginnya jeruji dan tembok dikalahkan oleh jumlah penghuninya. Jam sembilan malam. Para napi masih ada yang mengobrol dan tertawa akrab, sebagian lain sudah tidur.

Seorang sipir muda berwajah lonjong dengan santai berjalan menyusuri koridor. Derap sepatunya menggema. Mulutnya mengunyah sisa makan malam. Dia enggan memeriksa tiap sel, tapi tetap melakukannya dalam bentuk formalitas.

Dari sel sebelah kiri sang sipir, muncul lengan kurus berkulit kumal. Wajah pemilik lengan itu juga menempel di antara jeruji. Sipir berhenti. Terjadilah kontak muka antara si pria muda dengan tahanan berambut lebat.

“Pak, mau jalan-jalan bentar, dong,” pinta si tahanan. “Sumpek, nih.”

Sipir menghela napas. “Gak ada! Diam aja kamu di situ! Sekarang sudah bukan waktunya keluar.”

Si tahanan bersungut. “Dih, tadi orang yang di sel sana boleh keluar, kok. Dijemput pula.”

Sang sipir mengernyit, menoleh mengikuti arah telunjuk si tahanan. Lalu sipir beranjak. Perasaannya mulai tidak beres kala melihat pintu sel yang ia datangi ternyata tidak rapat. Benar saja. Ruangan berlantai semen itu sudah kosong.

*** 

Jam sembilan pagi, ruangan Komandan tak terlalu meredam suara kesibukan di luar. Sa’diyah berdiri dalam posisi istirahat menghadap sang atasan. Percakapan terjadi. Sepanjang lima menit terakhir, keduanya hanya membahas detail kecil kasus penculikan.

Kemudian Komandan diam sejenak, lalu menatap Sa’diyah. “Ada satu hal yang harus kamu tahu tentang kasus ini .... Bukan. Lebih tepatnya tentang Alfi.”

Sa’diyah tidak menjawab. Ia hanya memberi tatapan bingung pada pria berwajah bulat di hadapannya.

Komandan mendehem. “Kasus ini cukup sensitif bagi Alfi karena anaknya meninggal dengan cara yang sama.”

Barulah Sa’diyah memberi reaksi dengan mata sedikit membelalak. “Maaf, Komandan. Meninggal?”

Percakapan pun berlangsung lebih panjang dengan dimulainya cerita Komandan.

Kejadiannya belum lama, tepatnya dua tahun lalu. Hari cerah momen Alfi mengajak keluarga kecilnya berwisata ke taman hiburan. Awalnya semua normal. Hingga ketika Alfi dipercaya menjaga putra mereka karena istrinya harus ke toilet, di situlah petaka bermula.

Singkat cerita, Alfi lengah, dan anak itu hilang hampir seminggu. Istri Alfi bersedih. Sedangkan Alfi sendiri berupaya keras melacak anaknya, bahkan harus minta izin pada Letnan Aziz untuk tidak ikut mengusut suatu kasus.

Sayangnya, kesedihan itu harus berakhir duka sangat dalam. Anak mereka ditemukan tak bernyawa dalam keadaan mengenaskan di sebuah rumah kosong sudut kota. Hati Alfi hancur. Tubuh putranya penuh sayatan, serta organ jantung dan paru-paru menghilang.

“Sejak saat itu, saya tidak pernah membahasnya lagi dengan Alfi, karena saya tahu itu luka yang sangat dalam untuk dia dan istrinya. Tapi entahlah. Sepertinya tragedi itu mempengaruhi pernikahan mereka.”

Lihat selengkapnya