Mobil van hitam itu melaju santai di bawah terik siang kota. Lalu lintas lancar. Si pria bermata bulat mengemudi tetap dengan pandangan lurus ke depan. Kakinya menginjak rem perlahan ketika mencapai lampu merah.
Yang tidak pria itu sadari adalah lalu lintas juga punya mata. Kamera beroperasi. Pada suatu ruangan agak jauh dari persimpangan itu, beberapa orang mengawasi laju kendaraan via monitor besar.
Salah satu pria di depan monitor menyipitkan mata. “Eh, bukannya ada info dari kepolisian soal mobil yang dicurigai pelaku penculikan, ya?”
“Iya,” sahut rekannya yang berada di sisi lain monitor. “Van hitam pelat TE 2612 PB.”
Melihat kesamaan ciri yang disebutkan dengan tampilan pada layar, pria di depan monitor bergegas mengenakan headset dan menekan tombol pada radio komunikasi.
“Di sini Area Traffic Control System Dinas Perhubungan pada Kepolisian, menginfokan bahwa mobil van yang kalian cari berada di persimpangan dekat RSUD, dan sekarang ... belok kiri menuju arah balai kota.”
Petugas langsung bergerak. Dua unit mobil minibus membuntuti kendaraan si pria bermata bulat. Hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah taman bermain, di mana sang tersangka memarkir mobil lalu duduk santai di kursi batu mengamati anak-anak.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria bermata bulat dengan tenang kala tiga pria tegap berseragam polisi berdiri di hadapannya.
***
Detak jam di kantor Divisi Astral mengisi keheningan. Donat gula dalam kantong plastik masih lengkap empat buah. Tak tersentuh. Pria berkulit kuning langsat yang biasa menyantapnya kini sedang menyangga dagu dengan telapak tangan, melamun.
Bayangannya tertuju pada kejadian pahit masa lalu. Menyakitkan. Semua ingatan terpampang runut. Mulai dari senyuman terakhir sang anak yang dilihat Alfi, momen saat mereka terpisah, hingga pemandangan mengenaskan di dalam kantong mayat.
Suara tangis dan jerit istrinya menggema dalam kepala Alfi. Tiga kata. Berulang-ulang. “Ini salah kamu!”
“Pak Alfi?” tegur Sa’diyah membuyarkan lamunannya.
“Ya?” Alfi mendapati Sa’diyah berdiri di sebelah meja.
“Pemilik mobil van itu sudah ada di ruang interogasi markas. Apa ... Pak Alfi mau ikut?”
Dari pertanyaan itu, Alfi seakan sudah bisa menebak bahwa sang polwan berjilbab telah mengetahui kisah kelamnya. Alfi tersenyum simpul. “Oke.”
Mereka pun berangkat. Ketika tiba di markas, keduanya saling bertukar informasi dengan polisi yang baru saja keluar dari ruang interogasi. Setelah info diterima, Sa’diyah dan Alfi pun masuk menemui pria bermata bulat.
“Saya cuma duduk di taman.” Pria bermata bulat tampak tenang. “Kok, ditangkap?”
“Sedang apa Bapak waktu itu di tempat ini?” Sa’diyah meletakkan selembar kertas di depan si pria bermata bulat. Isinya adalah gambar tangkapan layar CCTV di TKP.
Pria itu melihat foto, sadar bahwa pelat mobilnya tertangkap kamera. “Kalian menangkap saya hanya karena mobil saya kebetulan ada di sana? Kebiasaan, polisi tukang jebak.”
Satu gebrakan di atas meja membuat Sa’diyah dan pria bermata bulat sama terkejut. Itu perbuatan Alfi. Sang polisi berwajah kotak masih menunjukkan senyum, tapi tak selebar biasanya.
“Jujur ajalah .... Ke mana kamu membawa anak-anak itu?”
Si pria bermata bulat tersenyum setelah berhasil mendapatkan ketenangannya kembali. Ditatapnya mata Alfi. Baginya, polisi berwajah kotak itu tak lebih dari sekadar manusia yang terbawa emosi dan agak bodoh. Sekarang, tinggal memilih kalimat yang tepat.