DJAHOEL

Hendra Wiguna
Chapter #6

Menunggu di Pengasingan

Aku terbaring di salah satu antara ranjang-ranjang yang berjejer dua kali sepuluh dalam ruangan luas bertembok putih gading. Pengap. Hanya ada empat jendela yang terbuka jauh tinggi di atas sana, yang di setiap sisi dinding dan disekat oleh jeruji. Kipas angin yang tergantung berputar di langit-langit menghasilkan suara berisik, aku menatapnya kemudian. Putaran empat baling-baling itu seakan menyapa-nyapa, memanggil-manggil, menyuruhku untuk segera enyah dari sana.

Aku bangkit, kemudian turun dari ranjang. Pandanganku melayang ke berbagai sudut ruang, mencoba mengurangi rasa pening di kepala akibat terlalu lama berbaring. Terlihat seseorang di ranjang paling ujung dengan baju putih terduduk seperti berbicara pada tembok di hadapannya. Aku segera melangkah keluar, mencari sesuatu yang mungkin menarik untuk menghilangkan rasa bosan.

Perlahan, aku menelusuri lorong gedung melewati beberapa pasien yang tampak asyik dengan dunia mereka sendiri; ada yang terduduk memeluk boneka seakan itu adalah bayinya, ada yang melompat-lompat kegirangan lalu terjatuh entah oleh siapa, ada juga yang menatapku tajam seakan memiliki dendam tapi kemudian tertawa memperlihatkan giginya yang kuning.

Hingga tiba di sebuah ruangan. Aku berdiri menghadap tembok yang terpasang sebuah lukisan besar bergambar empat orang pria berjubah hitam dengan topi bulat. Aku taksir mereka bukan lah dari negeri ini. Aku menatap mereka lekat, memerhatikan satu per satu pria dalam lukisan itu.

"Apa kau tahu, kau tau diperbolehkan untuk berada di sini, Ahmad?" Tiba-tiba seseorang berbicara. Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Aku tak langsung menjawabnya dan berbalik untuk melihat yang bersuara.

"Ya, aku tahu, Suster."

Perempuan berbaju serba putih dengan seutas kain menyangga rambutnya itu lalu mengajakku pergi dari sana. Kemudian kami berjalan berdampingan menelusuri lorong yang telah aku lewati untuk sampai di ruang lobi tadi.

"Sebenarnya kapan dokter itu akan tiba?" tanyaku.

"Entahlah, Ahamd. Terakhir kali aku mendengar kabar dari para staf rumah sakit ia masih berada di Jerman."

"Sudah tiga hari aku di sini."

"Aku tahu. Sabar."

"Kenapa harus menunggu dia? Apa tidak ada dokter psikiater lainnya?"

"Aku juga tak tahu, Ahmad. Ini keinginan pemilik rumah sakit ini mendatangkan dia. Katanya, dia lulusan terbaik universitas di Jerman. Dia juga orang Indonesia, dan sempat bekerja di Amerika sana. Tuan Moesas mendatangkan khusus orang ini agar bisa menangani kamu, Ahmad."

"Hanya aku?"

"Ah, tidak. Ada beberapa pasien lain yang sama denganmu. Sejak kasusmu itu beredar di koran-koran dan radio, Tuan bersikeras ingin mengadakan kelas penanganan khusus untuk orang-orang kelainan jiwa yang punya kecenderungan untuk ...." Perempuan berkulit putih itu tak melanjutkan kata-katanya

"Membunuh?"

"Menyakiti orang lain."

"Lalu, di mana yang lainnya?"

"Dia ditempatkan khusus di gedung paling belakang. Apa kau pernah ke sana? Mereka berjumlah enam orang, tujuh sama kamu yang akan menjadi pasien pertama dokter psikiater itu di sini."

"Apa suster bisa mengantarku ke sana?"

"Oh, maaf, aku tidak bisa. Itu bukan kewenangan saya. Para staf berpikir kamu harus di sini selama dokter itu belum datang."

"Kenapa?"

"Di antara mereka, hanya kamu yang pernah ... membunuh," katanya dengan nada yang memelan. "Maaf Ahmad. Seharusnya aku tidak banyak bercerita tentang itu." Kemudian ia langsung pergi dari sampingku lalu masuk ke sebuah ruangan. Ia sempat berhenti dan melihatku sebelum akhirnya ia benar-benar masuk dan menutup pintu itu kembali.


°°°°°

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terduduk di sini. Setelah makan siang yang selau tepat di adakan pukul 13:00, aku akan menuju ke sini, di bangku sebuah taman di tengah area gedung mengamati tingkah laku pasien-pasien yang berada di sekitar. Melihat aktivitas beberapa suster, baik perempuan atau laki-laki, yang sedang mencoba berbincang dengan mereka, atau hanya mengamati dengan alat tulis lekat di pangkuannya.

Mereka akan tetap berada di sana dengan bebas sampai pukul tiga sore nanti. Para perawat itu akan menggiring mereka membawa ke kamarnya amsing masing setelah dimandikan terlebih dahulu dan akan melaksanakan sesi makan malam.

Langit mulai menjingga, taman pun lengang. Seharusnya aku juga mengikuti kegiatan mereka, tetapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Para perawat itu pun tak ada yang berani menegurku, menyuruhku pergi mandi, atau balik ke kamar. Karena kenyataannya aku bukanlah pasien mereka, meski beberapa perawat sudah ditugaskan untuk menjagaku. Namun, mereka tak melakukannya.

Aku beranjak dari sana setelah langit sudah mulai berona jingga, juga setelah azan ashar yang entah dari mana, terdengar.

Aku berjalan menuju koridor di sisi gedung untuk keluar dari area taman. Namun, saat aku berada batas keduanya, sesuatu mengusik mataku. Seseorang dengan jubah hitam tengah berdiri di balik pintu gerbang berjeruji besi menatap ke arahku. Agak lama ia berada di sana, hingga akhirnya ia beranjak dan menghilang di balik tembok.

Lihat selengkapnya