Kami duduk di sebuah ruangan tanpa jendela yang sedikit agak luas dengan tujuh buah kursi berjajar rapi membentuk lingkaran. Aku berada di posisi tengah, tepat di hadapan satu kursi kosong yang warna dan bahannya lain dengan yang para pasien tempati. Kami sedang menunggu dokter itu datang.
Dani duduk di sampingku, agak berjarak, ia tak berbicara sedikit pun semenjak datang bersamaku hampir lima belas menit lalu ... tidak. Mungkin sejak semalam. Karena, sampai sekarang aku belum mendengar suaranya.
Tak berapa lama kemudian, terdengar sepatu ket beradu pada lantai berkai-kali, mengentak-entak. Seorang perempuan muda muncul di baik pintu dengan rambut lurus panjang belah tengahnya. Sejenak ia berhenti, lalu melanjutkan langkah ke kursi di samping Dani. Ia tersenyum padanya yang tentu saja tanpa balasan.
Kecuali Dani, hampir semua pasien yang ada di sana menatapnya. Seringai-seringai itu jelas diperuntukkan bagi satu-satunya pasien perempuan di ruangan ini. Ia menengok kearah kanan dan kirinya memeriksa lima lelaki—termasuk diriku—, memutar mata, memasang wajah sombong, lalu sedikit menyunggingkan bibirnya. Mata itu melirik teman sekamarku, memicing, lalu bertanya.
"Kenapa, Lo?" Kedua alisnya menyatu seakan mempertanyakan apakah dia satu-satunya lelaki yang tak menyukainya. Dani sekejap menoleh, tanpa bergerak sedikit pun, dan sepertinya tak ada niat menjawab.
Sepuluh menit setelah kedatangan perempuan itu, terdengar kembali sepatu yang memecah keheningan ruang. Kami yang sudah bosan, langsung tertuju ke arah pintu. Seorang wanita mengenakan rok pendek hitam muncul di balik pintu, kemudian berjalan dengan percaya diri menuju kursi kosong tadi.
"Halo, selamat pagi semuanya," sapanya. "Perkenalkan nama saya Anna. Kalian boleh panggil saya Ibu saja."
"Selamat pagi, Bu Anna," sapa salah satu di antara kami disertai seringai. April mendengus sambil memutar bola matanya ke atas.
"Selamat pagi." Wanita itu tersenyum. "Baiklah, untuk hari ini mungkin akan saya berikan waktu untuk mengenal kalian semua."
Wanita itu bernama Anna. Mungkin aku akan menyebutnya dengan Dr Anna, meskipun dia menyuruh kami memanggilnya dengan sebutan 'Bu', akan tetapi aku tak ingin melakukannya. Entah kenapa itu terdengar menyedihkan di telingaku.a
Di hari pertama itu. Dr. Anna menyuruh kami bercerita tentang kehidupan kami sebelum berada di sini satu per satu. Dimulai dari pasien perempuan terlebih dahulu, lalu dia akan menunjuk siapa yang akan bercerita selanjutnya. Dan begitu seterusnya.
Namanya April, ia adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh paman dan bibi. Semenjak kecil ia sudah diperlakukan tidak baik oleh orang tua asuhnya itu. Ia bercerita bahwa pamannya itu pernah sering kali mencabulinya. Ia tak berani bercerita kepada siapapun sebelumnya. Termasuk kepada bibinya, ia tahu bahwa bibinya akan memihak pada suaminya.
Suatu malam, ia sudah tak tahan lagi. Saat pamannya akan melakukan mesum itu lagi, April berontak. Ia berlari ke dapur untuk mengambil piasu dan menyerang pamannya. Pria itu habis jadi bahan pelampiasan amarah. Perbuatannya itu kepergok Bibi, dan sejak itu semuanya terbongkar.
Singkat cerita, April menjadi trauma. Setiap ada lelaki yang mendekati, dia akan menyerangnya. Namun, lama kelamaan aksi penyerangannya itu menjadi tidak terkendali, dan membuatnya menjadi lebih beringas. Katanya, ada kesenangan dan kepuasan saat menikam para lelaki itu.
Mendengar cerita April, semua pasien lelaki di ruangan menatap ke arah perempuan yang sedang menangis tersedu-sedu. April menyadari itu dan entah kenapa tangisan itu seketika berubah jadi senyuman sinis. Saat April berbalik menatap satu per satu wajah-wajah itu, mereka langsumg tertunduk. April tertawa kemudian.
"Oke." Dr. Anna menarik napas dalam-dalam. "April, apa kau merasa lega setelah menceritakan semuanya?"
Wajahnya bingung, alisnya terangkat, seakan menimang-nimang. "Ya ... sedikit," ucapnya sambil mengangkat sebelah bahu.
"Tidak apa-apa," ujar Dr. Anna. "Kalian bisa mendengar sendiri, kan, bagaimana sebuah trauma bisa membuat dampak psikologis pada seseorang. April menyimpan rasa itu bertahun-tahun lamanya, menyimpan keinginannya untuk menghentikan perbuatan pamannya, menyimpan kekesalannya, menyimpan semua rasa itu dalam diri, hingga pada akhirnya itu memuncak dan membuat dirinya melakukan sesuatu di luar kendalinya. Ia mengambil pisau dan menyerang orang yang menyakitinya, ada kekuatan besar saat itu yang membuatnya berani melakukannya, itu karena dia berani mengambil langkah pertamanya agar pamannya tak menyakitinya lagi. Namun, rupanya, tindakan itu membuat ia berpikir di luar nalar. Itu adalah dampak trauma psikologis, di mana ia mengganggp semua laki-laki sama seperti pamannya. Itu lah yang akan ibu luruskan di sini." ucapnya. "Bagus April," puji Dr Anna.
April tak tersenyum sedikit pun. Ia menghela napas panjang dan kemudian tertunduk.
"Oke, April, siapa yang akan kau tunjuk selanjutnya?
"Hmmm." April melirik ke kanan dan kiri, dan berakhir pada seseorang di samping kirinya. "Siapa nama kamu?" tanya perempuan itu kepada Dani.
Dani tak menjawabnya.