Aku berdiri menyandarkan punggung pada tembok di depan pintu, menunggu seseorang keluar dari sana. Sekitar satu jam lalu, Dr. Dodi terlebih dahulu masuk saat aku akan menemui Dr. Anna. Sesekali aku melirik pintu berwarna putih dengan jendela kaca di bagian tengah atas terlihat buram. Bayangan hitam tidak jelas kadang terlihat di baliknya mondar-mandir, sepertinya mereka membicarakan hal serius
Para suster beberapa kali melintasiku, tersenyum, walau seringnya berlalu begitu saja. Suara ketukan sepatu mereka terkadang membuatku risih–atau gelisah. Aku hitung, gedung belakang itu hanya memiliki tiga suster saja yang membantu Dr. Anna dan Dr. Dodi. Jadi tak akan heran jika seorang suster yang sama mondar-mandir di lorong. Termasuk Suster Rida, ia menatapku heran saat akan melintas untuk yang keempat kalinya.
"Mau menemui Dr. Anna?" tanya sanng suster. Aku mengangguk. "Di dalam masih ada Dr. Dodi, kan?" lanjutnya. Aku mengangguk lagi. "Kayaknya bakal lama, Mad. Mereka sedang membahas soal pasien baru itu."
"Abraham?"
"Abraham? Bukan. Tapi Ronny," sergah suster. "Siapa Abraham?" tanyanya. Aku menggeleng. Sepertinya Suster Rida pun tidak tahu siapa pasien baru itu.
Beberapa saat kemudian, pintu itu akhirnya terbuka. Pria berpostur tinggi keluar dari sana, lalu berjalan setelah menutup kembali pintu. Sempat dia menyapaku dengan anggukan wajah saat melewatiku. Sepertinya Dr. Dodi mengetahui bahwa aku akan menemui Dr Anna. Dengan segera, aku melangkah menuju ruang kerja Dr Anna.
"Oh, Ahmad?" sapanya saat melihatku masuk. "Boleh tunggu sebentar? Ibu masih ada berkas yang harus ibu kerjakan. Silahkan duduk di sana." Dr. Anna menunjuk sofa. Aku pun segera duduk di sana.
Sebuah foto dengan pigura motif bunga berwarna emas masih terpasang di sana. Aku masih penasaran dengan seseorang yang ada di foto tersebut. Anak perempuan itu pasti Dr. Anna kecil, tetapi, siapa orag tua yang di belakangnya? Juga bayi yang dipangkunya.
"Baiklah, Ahmad. Ada apa kamu kemari? Apa ada yang bisa kamu ceritakan pada ibu?" Dr. Anna masih sibuk dengan berkasnya saat menanyakan tujuan Aku datang.
"Ibu tahu siapa, Ronny?"
"Oh. Iya. Tadi Dr. Dodi sudah memberi penjelasan pada ibu. Dia adalah pasiennya di rumah sakit lama tempat Dr. Dodi bekerja. Dia lebih percaya sama Dr. Dodi daripada Dokter yang baru di Rumah sakit itu. Jadi dia pindah untuk berkonsultasi di sini," jelasnya. "Dr. Dodi menyuruhnya untuk ikut pertemuan kita, Ahmad."
"Oh." Aku mengernyitkan dahi. "Tapi bukan itu yang ingin aku tanyakan, Bu."
"Lalu apa?"
"Soal latar belakang dia."
"Iya. Tentu saja ibu tahu. Dr. Dodi sudah menjelaskan semuanya tadi. Di mana dia tinggal, siapa keluarganya, Ibu tahu dan memang harus mengetahuinya. Maka dari itu ibu panggil Dr. Dodi ke sini." Dr. Anna menatap wajahku. "Ahmad, sebenarnya ada apa kau mempertanyakan itu pada ibu?" lanjutnya.
"Tidak."
"Apa kamu ada masalah dengannya?" selidik Dr. Anna. Aku menggeleng. "Jangan khawatir, Ahmad. Dia tidak tinggal bersama kalian. Dia adalah pasiennya Dr. Dodi. Dia hanya akan datang sebulan sekali atau setiap kali dia butuh konsultasi dengan Dr. Dodi."
Sebenarnya, aku ingin memberitahunya mengenai rencana Abraham–atau Ronny– di sini, sesuai dengan apa yang dikatakannya kemarin sore di belakang gedung utama itu. Namun, aku tidak tahu apakah bercerita kepada Dr. Anna adalah tindakan yang tepat. Selain itu, aku juga tidak mengetahui latar belakang Dr. Anna. Aku berpikir, Dr. Anna ataupun Dr. Dodi masih ada hubungannya dengan lelaki itu, tetapi entah apa.
"Aku tahu ada yang ingin kamu katakan, Ahmad," ujar Dr. Anna. Ia terus menatap padaku. "Ini sudah hampir satu bulan, tetapi kamu masih belum ada perkembangan yang signifikan. Kamu memang tidak seberbahaya yang lainnya, Ahmad, tapi kau masih harus bercerita, berinteraksi dengan yang lain. Jangan menutup diri terus."
Aku bergeming. Tak ada yang bisa aku katakan lagi. Tujuan mempertanyakan dan memberikan informasi tentang lelaki bernama Ronny itu, ia abaikan, dan lebih tertarik membahas kodisiku yang tak kunjung sembuh.
Dr. Anna beranjak dari kursinya dan menghampiri lemari yang di atasnya berjejer buku-buku dengan pelbagai judul tertera pada bagian tepi belakang buku yang tinggi-tinggi memanjang. Ia mengambil satu buku setelah beberapa saat menimang-nimang.
"Kau sudah membaca buku yang ibu berikan, Ahmad?" tanyanya sambil melangkah untuk kembali ke kursinya. Aku tak menjawabnya dan merasa tak perlu. "Kamu bisa menulis di buku itu. Ibu harap dengan menulis, ibu bisa memahami duniamu yang kamu kunci itu."
Sebuah buku yang terlihat tebal bersampul kulit berwarna cokelat gelap ia bawa dan menyodorkannya padaku. Aku yang masih terduduk di sofa lalu beranjak untuk mengambilnya. "Buka apa lagi itu?"
"Buku catatan. Semua halamannya kosong. Ibu ingin kau menulis di sana."
"Apa yang harus aku tulis?" tanyaku ketika berdiri di depan meja melihat buku itu.
"Apapun yang kau pikirkan," jawabnya. Aku menatap wanita berambut sebahu dengan mata hitam di balik kacamata itu. Ia tersenyum kemudian. "Apapun."