"Apa kau pernah jatuh cinta, Abraham?" Aku berjalan ke arah lelaki berperawakan tinggi yang sedang terduduk di sebuah batu bekas reruntuhan gedung, kemudian duduk di batu lainnya yang lebih tinggi tak jauh darinya. "Aku penasaran, kenapa kau sering berada di sini? Sebenarnya, siapa kau?"
"Aku pasien. Kau tahu itu."
"Apa semua ancamanmu dahulu hanya bualan saja? Apa kau berbuat seperti itu hanya pelampiasan saja dari apa yang sedang kau alami?"
"Kau terlalu banyak bertanya, Ahmad!"
"Dan kau belum menjawab satu pun."
Abraham menyungging. "Apa aku pernah jatuh cinta? Ada apa kau mempertanyakan itu padaku? Karena Dani dan perempuan sundal itu?"
Sejenak aku terdiam dan berpikir, entah kenapa aku memulai pembicaraan dengan pertanyaan itu. Mungkin karena ia tampak lebih tua dariku dan terlihat seumuran dengan usia Dani, dua puluh lima tahun. Jadi, aku berani bertanya padanya akan masalah percintaan karena kurasa ia tampak lebih berpengalaman. "Iya, itu karena Dani dan April. Aku tak mengerti mereka berdua."
"Apa kau percaya cinta?" tanya Abraham dengan wajah dan sinis.
"Aku tidak tahu."
"Tak ada yang namanya cinta, Ahmad. Kau pikir kebahagiaan itu datang karena cinta? Tidak! Kebahagiaan datang jika kau mendapatkan apa yang kau mau. Cinta tidak lebih dari sekedar manipulasi nafsu birahi saja."
"Bagaimana dengan keluarga? Ayah, i-ibu, bukankah cinta mereka tanpa nafsu?"
"Cinta pada keluarga? Maksudmu, cinta pada ibumu ... yang sudah kau bunuh?" Abraham menyeringai. Aku tidak bisa menyangkalnya lagi. "Kebahagiaan yang diberikan keluarga bukanlah cinta. Itu hanya manipulasi manusia pada perasaan keterpaksaan mengasuh anak hasil dari hubungan birahi. Manusia tidak benar-benar mempunyai hasrat untuk mencintai."
"Bagaimana dengan ibumu? Ayahmu?"
"Aku tak pernah mengenal mereka. Aku anak buangan. Mereka membuangku ke panti asuhan."
"Oh. Oke, baiklah."
Abraham menengok ke arahku, matanya menilik, menaikkan satu alisnya, dan memasang bibir sinis yang menyungging seakan menertawakan sesuatu dariku. "Apa yang kau pikirkan? Mungkin kau kira aku tak punya cinta karena aku adalah anak buangan. Kau tak tahu apa-apa tentangku, Ahmad."
"Aku tidak berpikir seperti itu.'
"Hah." Abraham mendengus. "Ahmad, Tuhanmu itu pengasih dan penyayang, bukan pencinta. Tak ada satu kata pun dalam kitab sucimu itu untuk mencinta sesama manusia, yang ada mengasihi dan menyayangi."
"Apa bedanya? lagi pula, aku–kami– diharuskan mencintai Tuhanku."
"Caranya?"
"Dengan beribadah kepada-Nya."
Sekali lagi Abraham menyungging. "Apa kau cinta pada Tuhanmu?" tanya Abraham. Aku tahu arah pertanyaan itu akan ke mana. Lelaki itu beranjak dari batu itu, berdiri, dan berbalik ke arahku. Ia menatapku kemudian.
Sejenak aku berpikir. Memang selama ini aku tidak melakukan itu–beribadah–. Dan aku mempertanyakan pada diri sendiri, apakah aku mencintai Tuhanku? Ah ... Sedari dulu aku selalu berusaha mengerti kenapa. Pertanyaan-pertanyaan itu, pikiran-pikiran itu, yang membuatku seperti ini, yang membuatku berada di sini. Benar kata Abraham, kenapa Tuhan memilih Maha Pengasih dan Maha Penyayang untuk disematkan sebagai pengenalan diri-Nya yang ada di setiap awalan kami akan berbuat sesuatu atas nama-Nya? Kenapa bukan Maha Pencinta?
Apakah tidak ada cinta dalam diriku karena tidak adanya cintaku kepada Tuhan? Seperti tidak adanya cinta dalam diri Abraham karena tidak adanya cinta dari kedua orang tuanya?
"Aku tidak tahu," jawabku.
"Kau tidak tahu karena kau tahu cinta itu tidak pernah ada."
"Cinta itu ada, tetapi tidak ada, belum ada, di dalam dirimu ... dan diriku," ucapku. Kemudian aku termangu.
Abraham berjalan menuju hadapanku yang sedang termenung memikirkan kata-kataku sendiri. Perlahan ia mengulurkan telapak tangannya dan menyentuh wajahku, mulai dari pipi sampai ke dagu. Ketika aku menyadari itu, secara refleks, aku langsung mengambil pergelangan tangannya dan membuangnya jauh-jauh.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku. Aku menatap wajahnya yang sedang tersenyum, kemudian berdiri, memosisikan tubuh sejajar dengan tubuhnya yang lebih tinggi dariku.
"Kau tak akan pernah menemukan cinta pada diri manusia, tidak hanya kita berdua." Kali ini wajahnya tanpa mimik. Kemudian telapak tangan itu ia angkat dan mengarahkannya ke wajahku. Namun, sebelum menyentuh, aku menepisnya dengan tangan. Segera aku beranjak dari hadapannya, meninggalkan dirinya yang masih menatapku. Ia terlihat tersenyum kemudian, sebelum aku berbalik dan berjalan.
Aku tidak mengerti cinta. Karena, tidak ada–belum ada– cinta dalam diriku. Mungkin kah jikalau belajar mencintai, aku akan sembuh dari ini? Apakah aku harus belajar mencintai Tuhan agar aku mengerti kehidupan? Mungkin iya. Lalu bagaimana dengan Abraham–yang katanya– tak ber-Tuhan?
°°°°°
Malam ini begitu dingin. Aku terduduk di atas dinding pagar balkon menyaksikan April yang sedang bermain gitar dengan irama yang syahdu di hadapanku. Ujung-ujung jemarinya cantik memetik dengan tempo lambat menghasilkan harmoni irama jass yang ringan. Kecuali Dani, semua pasien ada di sana, sebagian duduk di bangku yang mereka bawa dari ruang makan di lantai satu, sebagian lagi memilih duduk di lantai. Semua terdiam, hanyut dalam alunan musik yang perempuan itu mainkan.
Ini adalah malam terakhir bagi April tinggal di gedung ini. Ia memang belum dinyatakan sembuh seratus persen, tetapi Dr. Anna dan Dr. Dodi sudah memperbolehkannya pulang dengan syarat ia harus menjalani pemeriksaan kesehatan jiwa pada tanggal tertentu setiap bulannya, juga disarankan untuk datang mengikuti pertemuan sesekali.