Malam ini terasa dingin. Angin menerobos masuk melalui satu-satunya jendela kecil berjeruji di atas salah satu dari empat tembok yang membuat ruangan ini pengap. Tembok-tembok itu tinggi, seolah memang sengaja dibuat agar tak akan ada yang dapat menggapainya.
Laba-laba kecil terus menganyam jaring di sudut-sudut ruangan, juga di sekeliling pinggiran lampu bohlam yang tergantung di langit-langit, menghiraukan aku, sang penghuni baru yang tengah duduk pada kursi reot di depan meja, menyandarkan punggung dengan kepala menengadah.
Entah sejak kapan ranjang dan meja serta kursi ini berada di ruangan ini, yang aku tahu seharusnya tempat ini kosong. Aku beranjak dari sana dan menjatuhkan diri ke kasur tepat di depan meja itu, merebahkan diri dan mencoba untuk tidur.
Ini adalah malam pertama aku berada di ruang isolasi, ruangan yang biasa digunakan untuk mengurung para pasien yang sering berontak atau mengamuk. Tempat ini berada di bawah tanah gedung utama. Sebenarnya beberapa dokter dari gedung utama bersikeras tidak ingin menempatkan aku di ruangan ini karena takut berakibat buruk pada pasien-pasien lainnya. Namun, karena tidak adanya ruang khusus untuk menempatkan pasien sepertiku di gedung belakang, mereka mengalah.
Aku terbaring menatap langit-langit. Hanya laba-laba di atas sana yang masih merangkak dari jaring ke jaring menjadi pemandangan yang asyik aku perhatikan selama beberapa jam terakhir ini. Tak lama kemudian, terdengar suara gemerincing kunci-kunci yang beradu dari arah pintu luar ruangan yang membuat perhatianku teralihkan.
Aku beranjak duduk di tepi ranjang. Mungkin, pria berseragam putih itu akan menyampaikan perihal kepulangan April, perempuan yang aku celakai tadi sore. Pintu ruangan terbuka setelah pintu berbahan besi pelapis pintu utama terdengar berdebum menghantam tembok.
"Ahmad," panggil sang penjaga gedung.
Aku menengok ke arahnya tanpa menjawab dan kemudian terkejut karena tidak hanya pria berseragam keamanan itu yang masuk, tetapi juga pria berperawakan tinggi dengan jubah yang selalu dipakainya, Tuan Moesas, sang pemilik rumah sakit.
Aku tercenung melihat dia berdiri di hadapanku. Ini adalah pertama kalinya aku sedekat ini dengannya. Canggung, perasaan aneh yang tak pernah aku rasakan, juga heran kenapa dia menemuiku malam-malam seperti ini.
"Ahmad." Kali ini Tuan Moesas lah yang memanggil. Dan aku tak bisa mengabaikannya. Ia tersenyum, selalu tersenyum ramah, bahkan saat bertemu dengan pembunuh sepertiku.
"Iya, Tuan," jawabku. Kemudian aku berdiri menghadap kepadanya. Namun, ia mengangkat tangannya menyuruhku duduk kembali. Aku pun segera menurutinya. "Ada apa Tuan mengunjungiku?" tanyaku, sedikit terbata, saat akan beranjak duduk kembali.
"Apa maksudmu? Tentu saja karena kau pasienku, Ahmad."
"Hmm. Iya, tapi, ada apa?"
Pria bertopi bulat itu mengangkat alisnya. "Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja. "
"Oh ... terima kasih," ucapku.
Aku mengernyitkan dahi, menatap mata itu, mata berwarna abu yang seperti menyimpan sebuah misteri di dalamnya. Dan senyum itu, senyum ramah yang seperti menyembunyikan sesuatu di baliknya. Aku menunduk kemudian. Bertanya dalam hati, kenapa ia begitu peduli dengan keadaanku? Bukankah ysng perlu ia pedulikan adalah April, pasien yang aku celakai tadi sore.
"Bagaimana dengan April, Tuan? Apa dia baik-baik saja?"
"April? Oh, iya. Dia sudah aku urus. Kau tenang saja di sini."
Entah kenapa, kalimat itu terasa janggal. Apa yang dia urus? Apa jangan-jangan ... "Apa April sudah meninggal?"
Mimik wajah Tuan Moesas seketika berubah mendengar pertanyaan itu. Meski senyumnya itu masih melekat, tetapi aku bisa membaca bahwa ia terkejut.
"Oh, tidak, tidak, Ahmad. Dia sedang berada di rumah sakit umum. Ia selamat. Kau jangan khawatir, Ahmad."
"Oke, baiklah."
Aku tertunduk kembali, memikirkan apa yang telah aku perbuat kepada perempuan itu. Entah kenapa perasaan itu tiba-tiba muncul begitu saja. Amarah yang teramat sangat memenuhi hati.
"Tidak apa, Ahmad. Kau tak perlu merasa bersalah. Kau ada di tempat aman sekarang," ucapnya, seakan ia tahu apa yang sedang ku rasakan. Kemudian ia mendekat menghampiriku. Aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya. "Kau baik-baik saja di sini."
"Tuan...."
Ia mengangkat tangannya untuk menyentuh pipiku. Entah dari mana asal perasaan ini, perasaan sesal atas perbuatanku. Baru kali ini aku merasakan hal yang ... belum pernah rasakan sebelumnya.
"Lihatlah, kau masih begitu muda," ucapnya. "Ahmad, apa kau merindukan ayahmu ... ibumu?"
Tanpa sadar aku membendung air mata dan saat ia mengusap pipiku, air mata itu jatuh. Kurasakan lembut tangannya menyentuh. Perasaan itu lirih, seakan ingin kutumpahkan semuanya pada telapak tangan ini. Entah sihir apa yang pria ini lakukan hingga membuat diri ini larut dalam kesedihan yang mendalam. Aku menangis.