"Ahmad!”
Seorang perempuan pemilik bibir judes berteriak memanggilku, membuyarkan pikiran-pikiran sesat tentang Tuhan—Sang Pencipta—. Seketika, pandanganku beralih pada mata yang tak kalah memuakan, membuat siapa saja akan berpikir bahwa dia—ingin kau enyah— jahat. Bukan, bukan karena kebencian, hanya jijik, seperti melihat tahi, yang tak mungkin kau ambil dengan tangan untuk membuangnya. Kau hanya ingin menghindarinya, tak ingin berurusan.
Ia langsung mengernyitkan dahi saat aku pandang balik matanya. “Kenapa kamu enggak salat Jumat? Kamu enggak kapok apa disetrap terus?” tanya Rina—sang wakil ketua murid—dengan lantang. Ia memberanikan diri berteriak padaku. Namun, raut wajahnya berubah, ketika sadar, pandangan ini terus saja melekat padanya, ia mengambil ancang-ancang mundur. “Hih ... Orang gila!” Ia yang berada di depan kelas lantas pergi setelah mengucapkan sepatah kalimat umpatan yang sudah sangat biasa kudengar.
Aku sama sekali tidak menyadari kalau ruangan kelas ini sudah kosong, menyisakan berpasang-pasang bangku-kursi yang di beberapa bagiannya habis di coret-coret pena dan atau Tipe-X bertuliskan romansa cinta monyet muda-mudi bau kencur, atau simbol-simbol fanatisme pada musisi pujaan. Entah sudah berapa lama aku menjelajahi pikiran-pikiran itu lagi. Yang pasti, terakhir kali aku tersadar, adalah saat melihat guru matematika menjelaskan rumus-rumus dalam bukunya di depan kelas, sedangkan, papan tulis itu kini sudah penuh dengan gambar bagian dalam tubuh manusia beserta garis yang di ujungnya bertuliskan nama organ-organ tersebut.
Aku beranjak dari kursi yang letaknya paling sudut, berpaut jauh dengan meja guru di seberang sana. Kemudian, mengambil tas selempang di atas kursi yang lebarnya cukup untuk menopang dua murid belajar, tetapi, sayangnya bangku ini hanya mempunyai satu penghuni saja tahun ini.
Suara puji-pujian kepada Sang Baginda Nabi terdengar dari pengeras suara musala sekolah saat aku berjalan di lorong. Aku tahu, suara itu hanya sebuah rekaman dari pita kaset yang biasa dimainkan untuk memanggil para jemaah muda sebelum ibadah salat Jumat berlangsung.
Semua orang tahu, tujuanku berjalan bukan ke rumah suci itu, tetapi gerbang sekolah. Iya, aku akan pulang. Pandangan-pandangan itu kembali muncul. Beberapa wajah muda berkemeja batik menyunggingkan senyum, sinis, menertawakan dalam hati sosok yang menjadi langganan hukuman, mereka tahu pasti bahwa, sosok ini akan berdiri di bawah tiang bendera setelah upacara Senin pagi nanti. Entah apa kaitannya, acara kebangsaan itu dengan ibadah Jumat. Akan tetapi, aturan itu sudah ada bahkan sebelum aku ada di sini. Aku tahu dan aku tidak peduli.
“Lama 'kali kau, Djahoel!” teriak Andre yang sudah menungguku tepat di pintu gerbang sekolah.
“Biasanya juga nyamperin ke kelas,” ucapku.
“Haha. Tadi aku beli ini dulu. Nih buat kau satu.” Andre menyodorkan minuman air temulawak dalam plastik lengkap dengan sedotannya untukku. Setelah mengambilnya, kumulai berjalan kembali, diikuti lelaki berambut cepak itu.
Andre adalah salah satu dari beberapa murid non-muslim yang memilih belajar di Sekolah Menengah Pertama berbasis pendidikan agama Islam ini. Sebenarnya, dia juga harus mengikuti program kelas khusus yang merupakan kerja sama antar gereja kota dan pihak sekolah agar murid sepertinya dapat mendapatkan pendidikan agama sesuai yang dianutnya. Akan tetapi, sama sepertiku, dia memilih untuk tidak menghadirinya. Lelaki kurus bermarga Sihombing itu adalah satu-satunya anak yang selalu menemaniku di sekolah, walaupun sekarang sudah tak lagi satu kelas. Dia adalah seseorang yang menyebutku teman.
“Woy, tunggu lah! Bah, cepat sekali kau jalan!"
°°°°°
Debu-debu beterbangan, berkali-kali dihempaskan oleh lalu-lalang roda-roda kendaraan, menyerbu trotoar, dan menjadikannya embusan asap berwarna cokelat yang bertiup ke sana-sini di antara kaki-kaki pejalan. Panas terik cuaca siang ini menambah pemandangan gersang jalanan di salah satu sudut pinggiran kota kembang
Terlihat belasan layang-layang usang tersangkut dengan tali gelasan melilit pada kabel-kabel listrik, yang merambat dari tiang ke tiang di sepanjang jalan. Beberapa sobek, beberapa buah lainnya hanya tinggal berupa kerangka karena dimakan cuaca. Mati dan tak berguna.
Manusia-manusia yang sebagian besar berpeci songkok hitam, dan bersarung aneka motif terduduk ber-shaf-shaf di aula mesjid nun jauh di seberang sana, tengah khusuk mendengarkan khotbah yang suaranya menggaung, memencar ke seluruh penjuru kota melalui pengeras suara. Di luar aula yang hanya dibatasi pagar tembok berwarna putih, terduduk pula para pengemis berpakaian lusuh, menunggu kepulangan hamba-hamba Allah untuk dimintai sedikit rezekinya.
Setelah lama menelusuri trotoar jalanan dan sesekali menemukan bagian paving blok yang rusak, kami pun tiba di ujung perempatan, di mana Andre akan menaiki angkutan umum untuk pulang. Aku berhenti dan berdiri di tepi jalan, membuang plastik bekas minuman air temulawak tadi ke sebuah pot besar milik pemerintah kota tepat di sampingku. Diikuti Andre, melakukan hal yang sama. Terhitung sudah enam plastik terkumpul di sana, yang merupakan buangan kemarin, dan kemarinya lagi.
“Eh, Djahoel, besok malam Minggu, kau bisa ke rumah aku tak?”
“Untuk apa?”
“Main la,” ujar Andre. “Ada hal penting yang ingin aku lakukan sama kau.”
“Apa?”
“Ada la! Pokoknya kau harus mau! Ya?”
“Mau apa?”