DJAHOEL

Hendra Wiguna
Chapter #2

Layang-layang tak Kunjung Terbang

Pernah suatu ketika, aku ingin menerbangkan sebuah layang-layang yang kudapat dari ayah sebelum dia pergi, entah ke mana. Ia selalu pergi dalam waktu yang lama. Saat itu mungkin aku masih duduk di sekolah dasar. Di sebuah lapangan luas dan besar, aku mulai menerbangkannya. Namun, aku tidak tahu bagaimana caranya.

Aku berdiri memegang tali gelasan. Benda berbentuk segi empat itu, aku letakan di bawah agar saat angin datang, aku dapat menariknya ke atas sampai terbang. Akan tetapi, saat angin itu datang dan aku menariknya, layang-layang itu tak terbang sebagaimana mestinya.

Aku coba sekali lagi dengan cara yang sama. Namun tetap saja, layang-layang itu belum mau terbang, malah ujung kepalanya berbalik dan mematuk tanah.

Setelah berpikir sejenak. Kulihat tali gelasan di tangan. Rupanya, aku menggenggam tali itu terlalu kuat dan bahkan tidak mengulurkannya. Bodohnya.

Aku pun mencoba sekali lagi dengan cara yang sama. Saat angin datang, aku coba tarik dan mengulurkan tali di genggamanku. Namun, entah kenapa hasilnya tetap sama. Layang-layang itu berbalik dan mematuk tanah. Aku tidak tahu apa yang salah dengan benda itu.

Aku berpikir cara lain untuk menerbangkannya.

Pertama-tama, aku letakan layang-layang itu di tanah seperti sebelumnya. Saat angin datang, aku akan menariknya ke atas dan mengulurkan tali dalam genggaman. Kemudian, aku akan berlari sambil menarik tali tersebut di belakang. Sempat terbang. Terbang rendah. Tetapi bergoyang-goyang lalu berbalik mematuk tanah, dan terseret di tanah seiring langkahku berlari.

Tidak tahu kenapa. Saat itu aku berpikir, mungkin aku tidak ditakdirkan untuk bisa menerbangkan layang-layang.

Aku coba sekali lagi, dan lagi, dan lagi. Namun, hasil tetap sama. Hingga layang-layang itu robek dan patah karena terlalu sering mematuk dan terseret di tanah. Aku menyerah. Dan meninggalkan benda itu beserta tali gelasan di tengah lapang.

Aku tahu, beberapa orang sedang memperhatikanku. Beberapa menertawakan. Tetapi, aku tak peduli, dan memilih pergi dari sana.


°°°°°

“Melamun lagi kau, Mad?” Seorang pria baruh baya menegurku. Pak Arya namanya. Ia adalah sahabat Ayahku dulu. Kemudian ia duduk di sampingku.

Sore itu, seperti biasanya aku selalu berada di tepi lapangan desa, memandangi dan memperhatikan mereka yang sedang bermain. Itu sudah menjadi kebiasaanku setiap harinya terduduk di sana. Hingga tak heran, sebuah tempat di pojok yang beralaskan rumput, dan menghadap langsung ke lapangan ini sudah menjadi singgasanaku. Tak ada lagi yang berani menempatinya.

Pernah suatu ketika, beberapa gerombolan bocah duduk-duduk di sini, dan setelah melihat kedatanganku, mereka bergegas bubar, seakan mempersilahkan aku untuk menempatinya.

“Sudah lama kau di sini, Mad?” tanyanya. “Bagaimana? Apa kau sudah menemukan jawaban dari pikiran-pikiranmu?” tanyanya lagi. Ia menyunggingkan senyum, tentu saja itu hanya sekedar basa-basi saja. Sama sekali tidak serius. Aku yang sedang tak ingin membahasnya pun hanya terdiam. Tak menjawab.

Lalu, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusan dan menyalakannya dengan korek api yang ia ambil dari kotak bergambar tiga durian.

“Aku harap, kau sudah menemukan jawaban itu.” Ia masih menanyakan hal serupa.

“Paman, kenapa aku tidak bisa menerbangkan layang-layang seperti mereka?” tanyaku padanya, hanya untuk mengalihkan pembicaraan dari pertanyaannya.

“Mana saya tahu.”

“Aku tidak pernah bisa menerbangkan layang-layang seperti mereka,” ucapku.

“Haha, mungkin Tuhan tidak menakdirkanmu memiliki kemampuan menerbangkan Layang-layang. Hahaha,” ujar Paman Arya, bergurau.

“Iya, itu yang kupikirkan, Paman.”

Lihat selengkapnya