Tanpa salam, aku berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah lesu. Keringat bercampur debu yang terpanggang matahari sore terasa kering dan lengket dari leher ke punggung. Aku berniat langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan seluruh badan. Namun, setelah sampai di ruang depan rumah, aku menyaksikan Ibu sedang terduduk di kursi, menangis.
Aku berusaha tak memedulikan. Ibu tidak menyadari kedatanganku, hingga ia melihat aku berjalan melewatinya. Matanya berair, pipinya basah, dan sepertinya ia sudah tak peduli tangisannya menjadi tontonanku. Terlanjur. Aku pandang wajah itu kemudian, dan membuatku bertanya-tanya, ada apa? kenapa menangis? Biasanya ketika magrib seperti ini, ia sudah berurusan dengan mukena serta sajadah dalam kamarnya, dan melantunkan ayat-ayat Alquran setelahnya. Aku pun pergi dengan membawa pikiran itu.
Saat hendak masuk ke dalam kamar mandi. Suara pintu kamar Ibu terdengar. Ada seseorang yang membukanya. Ayah? Tapi mana mungkin, ia sedang pergi. Sebab seminggu lalu ia baru saja pulang. Hanya seminggu, untuk selanjutnya pergi selama sebulan penuh, atau bahkan, mungkin lebih. Seharusnya hari ini ayah tidak ada. Tapi ....
“Ahmad, kapan kamu mau belajar salat?” sahut suara itu yang aku tahu, itu dia.
“Ayah?” batinku.
Aku yang sudah di ambang pintu kamar mandi lalu terdiam. Ingin menjawab. Namun, tak ada kata-kata yang kudapatkan untuk menjawabnya. Aku taksir, ayah sedang melihat setengah badan belakangku.
“Susul ayah ke mesjid nanti,” ucapnya.
Terdengar suara langkah alas kaki yang terasruk menuju pintu rumah, lalu suara pintu berderit dua kali secara perlahan menandakan seseorang sudah melaluinya. Aku pun masuk ke kamar mandi dan menutup pintu. Lalu, tiba-tiba terdengar suara pintu lain terbanting keras. Sangat keras. Hingga aku yang ada di ruang tertutup pun dapat jelas mendengar. Aku yakin, itu adalah pintu kamar Ibu–dan ayah. Sepertinya Ia sedang marah ... lagi.
Kutelanjangi diri. Membuka kaos kelabu dan celana pendek ketat, lalu melemparnya ke tumpukan pakaian kotor dalam jolang hitam di sudut kamar mandi. Kulihat sepasang pakaian ayah juga sudah ada di sana, membuatku sekali lagi mengerutkan dahi dan bertanya, ada apa?
Entah sejak kapan keadaan di rumah ini sebegitu dinginnya. Tak ada–tak pernah ada– suara cengkerama keluarga. Aku tak pernah melihat ibu tertawa, atau bahkan tersenyum. Oh, tidak. Aku pernah melihat ibu tersenyum, dahulu. Dahulu sekali, ketika ayah pertama kali datang ke rumah ini setelah sekian lama pergi.
°°°°°
Mungkin aku masih berumur tiga tahun saat itu. Sebelumnya aku tak pernah melihat sosok ayah. Wajahnya bagaimana, atau suaranya terdengar seperti apa. Aku belum pernah tahu. Yang kulihat, hanya sosok Ibu. Perempuan berambut sebahu yang akan memakai kerudung setiap kali keluar rumah. Ibu yang melakukan segala sesuatu di rumah ini. Sendirian. Termasuk mengurusku.
Ibu sering kali bertindak kasar padaku, meskipun waktu itu aku masih kecil. Ia sering memarahi atas apa yang belum bisa kulakukan dengan benar, bahkan sampai menampar. Beberapa kali tubuhku dibuatnya sakit, tetapi aku hanya bisa diam, tak bicara, menahannya, dan tidur untuk melupakannya. Aku tidak menangis, karena katanya, aku tidak pernah menangis, bahkan saat dilahirkan. Mungkin itu juga yang membuatnya marah, aku tidak tahu. Rasanya, aku tidak pernah melihat ibu bahagia dengan keberadaanku.
Namun, berbeda dengan hari itu.
Aku sedang duduk di atas ranjang melihat langit cerah tanpa awan melalui jendela, ketika ibu masuk dan langsung membereskan kamarku. Mulai dari tempat tidur, lemari baju, kemudian mengutip barang-barang yang berserakan di lantai. Setelah itu, ia langsung memangku, dan dibawanya tubuh kurusku ke kamar mandi.
Ibu melucuti pakaian, dan langsung membasuh, menyabuni, menggosok seluruh badanku. Ada wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Raut bahagia. Itu adalah satu-satunya ingatanku tentang ibu saat memandikanku. Setelah dirasa bersih, lalu ia membalutku dengan handuk, dipangkunya dan dibawanya kembali tubuhku ke atas ranjang. Ia memakaikanku kemeja, dan celana pendek yang sebelumnya belum pernah kupakai. Ibu meletakkanku kembali duduk di ranjang. Kemudian pergi.
Terdengar suara motor di depan rumah. Aku yang menghadap ke jendela dapat melihat jelas pria dengan helm dan jaket kulit sedang mengendarai motor merah putih. Suara itu berhenti, tepat di depan pintu rumah. Beberapa saat kemudian, ibu datang. Ia lalu mengais dan membawaku di pangkuannya.
“Assalamualaikum,” ucap sebuah suara di balik pintu.
“Waalaikumsalam." Ibu menyahutnya kemudian.
Pintu terbuka. Seorang pria berjanggut dan berkumis tipis masuk. Matanya yang menyipit langsung beralih pandang ke arahku. Ia tersenyum lebar, menyapaku yang ada di pangkuan Ibu, lalu merebut tubuhku darinya. Saat berada di pangkuan Ayah, aku melihat senyum ibu. Bahagia. Seketika itu, entah kenapa aku ingin memeluknya. Tanpa sadar, tangan kecilku terangkat untuk meraih pelukan ibu. Namun ia menghiraukan, dan membiarkan aku tetap dalam pangkuan ayah.
Itu adalah pertama kalinya aku melihat sosok ayah.
Hari-hari berikutnya suasana rumah sangat terasa berbeda. Ada kebiasaan-kebiasaan baru yang kami lakukan. Aku masih ingat saat ayah setiap hari mengajakku pergi ke mesjid untuk mengerjakan salat berjamaah. Aku akan berada di sampingnya, ia menyuruhku mengikuti gerakannya, dan aku melakukannya. Terkadang ayah melakukan itu di depan, sendirian, membelakangi aku yang ada di antara jemaah lainnya. Aku lebih senang, karena aku merasa tak perlu mengikuti gerakannya lagi, dan memilih duduk sampai semua selesai.