Sayup terdengar lantunan ayat suci yang diselingi suara terisak-isak dari kamar Ibu. Ini bukan yang pertama kalinya dia menangis, tetapi aku bisa mendengar ada yang tidak biasa, seperti erangan lirih yang menyiratkan kekecewaan. Aku beranjak dari ranjang. Suara itu terdengar lebih jelas lagi setelah aku matikan radio yang sedari tadi menemani sepiku.
Bug! Aaarrrgghhh ....
Tiba-tiba terdengar suara benda yang terlempar dan menghantam dari arah pintu kamar Ibu yang disusul oleh suara jeritan geram. Ibu menangis dengan erangan yang lebih keras. Ada apa? Ini tidak biasanya. Aku pun berjalan keluar.
Ketika berdiri di depan pintu kamar, aku melihat ibu melalui celah pintu kamarnya yang sedikit terbuka dalam posisi bersujud dengan masih memakai mukena putih. Ibu masih menangis di sana. Sebuah benda seperti buku dengan halaman menganga ke atas tampak teronggok di bawah pintu. Aku mengernyitkan dahi ketika mengetahui kalau benda itu adalah Al-Qur'an.
Kemudian Ibu bangun dari sujudnya dengan keadaan masih menangis. Wajahnya merah dan berlinangan air mata. Saat melihat ke arahku, ia terkejut dan segera beranjak lalu berjalan ke arah pintu kemudian menutupnya.
Aku menengok ke arah pintu rumah. Entah kenapa, aku berharap Ayah pulang dari mesjid. Namun, aku tahu itu tidak akan terjadi karena Ayah biasanya akan mengajar anak-anak mengaji. Aku pun berbalik dan masuk ke kamar mengabaikan jeritan yang semakin lantang.
Aku duduk di tepi ranjang. Kemudian, perasaan itu muncul, perasaan yang selama ini aku abaikan setiap kali kembali menyelimuti jiwa. Sekarang muncul lebih kuat. Seperti ingin marah, gelisah, takut, aku bahkan tak tahu nama perasaan ini sesungguhnya. Sesuatu seperti menggelegar di dalam diri. Aku ingin jeritan itu berhenti.
Brag! Brag! Brag!
"Ahmad! Buka pintu!" Dengan suara yang serak, Ibu menggebrak pintu dan memanggilku.
Aku membuka mataku yang sempat terpejam karena perasaan itu. Kemudian beranjak ke arah pintu dan membukanya. Aku sedikit terkejut ketika melihat Ibu sudah berada di depan kamarku dengan wajah yang geram dan berlinangan air mata. Aku menatapnya heran.
"K-k-kenapa?" tanyaku yang berdiri tepat di hadapannya. Canggung.
"Kalau ibu dan ayahmu bercerai, kau akan memilih ikut siapa?" tanya Ibu dengan suara serak yang sedikit hilang karena mungkin habis berteriak.
Aku menggeleng.
"Jawab, Ahmad Jahal!" Teriaknya masih dengan suara yang sedikit menghilang. Ibu meradang.
Aku kemudian menunduk. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin karena perasaan gelisah itu masih ada dalam diri. Aku berusaha mengabaikannya, akan tetapi rasa itu semakin lama semakin kuat setiap kali ibu berteriak meminta jawaban dariku.
"Jawab, Ahmad! Jawab!" Ibu terus berteriak. Aku tidak tahan. Aku ingin teriakan itu berhenti. "Sebaiknya kau ikut saja sama ayahmu dan istri barunya itu!" lanjut Ibu.
"A-apa?"
"Tanpa sepengetahuan ibu, ayahmu sudah kawin lagi, Ahmad. Tanpa sepengetahuan ibu. Dan keluarganya yang orang-orang pesantren itu memilih tidak memberitahu ibu. Keluarga ayahmu itu dari dulu memang membenciku, Ahmad. Dari dulu!"
"Ibu." Aku tidak tahu harus berbuat apa.
"Kau sebaiknya ikut ayahmu! Kau sama saja seperti ayahmu dan keluarganya. Kau benci ibu juga, kan?" Teriakannya kini membuka pikiranku. Apa aku membencinya? Membenci ibuku?
"A-a-aku ...."
"Kau ikut saja sama ayahmu! Kau gila, Ahmad! Sama seperti ayahmu dan keluarganya! Gila! Nggak waras!"
Aku tidak tahan lagi. Aku gelisah akan sesuatu, takut pada sesuatu yang tak kuketahui, dan ingin teriakan ibu berhenti. Suara Geraman itu membuatku beringas. Dan semakin lama semakin kuat. Aku geram. Tanpa sadar aku mengangkat tanganku dan mencekik leher ibu.
Aku melihat wajah ibu. Ia melotot padaku. Ia memukul-mukul tanganku agar cengkeraman itu terlepas. Namun, semakin keras dia memukul, semakin kuat cengkeramanku.
Kini aku sadar dari mana kegelisahan itu berasal, dari mana ketakutan itu muncul. Selama ini aku selalu menyembunyikan perasaan itu, perasaan benci kepada ibu. Iya, ternyata selama ini aku memang membencinya.
Sejak kecil ia sering menyiksaku. Itu karena kebenciannya kepada ayah dan keluarganya. Ia melampiaskannya kepadaku, anaknya. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menerimanya. Ingatan itu kini gamblang terbuka. Setiap kali ini memukulku dan membuat tubuhku sakit, aku tak menangis. Aku akan pergi tidur dan melupakannya.
Aku benci saat ibu menyiksaku. Aku benci saat ibu berteriak memakiku. Aku benci! Namun, aku tahu kebencian ibu pada ayah dan keluarganya teramat besar. Maka aku menerima saja segala bentuk pelampiasan itu. Aku memilih diam dan belajar untuk melupakannya. Hingga perasaan itu benar-benar terkunci dalam diri dan menjadikanku tidak peduli pada apapun dan atau siapapun.
Aku juga ingat. Ibu pernah mencekikku seperti yang sekarang aku lakukan saat aku masih kecil. Mungkin dia ingin aku mati. Namun, ia melepaskannya kemudian dan pergi sambil menangis.
Aku menghela nafas berat. Aku tersadar dari amarah dan melihat ibu sudah tak berteriak-teriak lagi. Kemudian aku melepaskan cengkeraman tanganku dari lehernya.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Kenapa aku sudah berlumuran darah? Kenapa ada pisau di tanganku? Kenapa Ibu tergeletak di lantai? Aku panik saat sadar kalau ibuku sudah tak bernyawa.
"I-i-ibu?" panggilku. Aku terengah-engah dan beranjak dari atas tubuh ibuku. Benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dan benar-benar tidak bisa mengingat apapun. Aku teduduk di hadapan ibuku, ingin menangis tapi air mata itu tidak keluar. Aku melempar pisau di tangan kiri jauh-jauh. Aku gamang.