DJAHOEL

Hendra Wiguna
Chapter #4

Dua Anjing Berseragam Cokelat

Dua pria berseragam cokelat dengan telapak tangan bersiap pada senjata yang masih terselip di pinggang bagian kiri itu berdiri di hadapanku ketika aku baru saja membuka mata. Aku bangun dan beranjak duduk di sofa yang semalam menjadi alas tempat tidurku.

"Ahmad, ayo, ikut kami!" Satu dari dua orang pria tersebut mengambil paksa tanganku, menyeret untuk segera berdiri, membalikkan tubuhku, lalu memborgol pergelangan tanganku dari belakang.

Saat itu pagi menjelang siang. Dua polisi membawaku keluar dari kamar Andre. Ia bersama ayahnya berdiri di ruang tengah rumah saat aku berjalan melewati mereka. Aku bisa melihat wajah kawanku itu, seolah tidak percaya akan apa yang terjadi, mempertanyakan apa yang sebenarnya sudah kulakukan. Matanya lekat menatapku, menggeleng, bibirnya bergerak seakan memanggilku.

Aku bisa melihat sebuah mobil polisi berwarna putih di bawah sana, terparkir di tepi jalan menuju gedung ini, bersama orang-orang yang berkerumun dan kesemuanya memandang ke arahku dengan tatapan penuh tanya. Para penghuni rumah susun pun tidak kalah penasaran dengan orang-orang di bawah sana, mereka menyaksikan aku digelandang sampai turun dari gedung menuju mobil polisi, hingga dimasukkannya aku ke dalam sana.

Aku bisa melihat Andre dan ayahnya di atas sana dari jendela. Saat mobil melaju, pemandangan gedung mulai terhalang oleh tembok memaksaku untuk menuntaskan tatapan pada kawanku untuk yang terakhir kalinya.


°°°°°

Setelah hari penangkapan itu, hari-hariku selama beberapa bulan tidak lagi sama. Aku mendekam di dalam penjara bersama orang-orang yang tak aku kenal, orang-orang dengan wajah penuh kebencian. Aku jadi penasaran, apakah wajahku seperti itu saat aku menghabisi nyawa ibuku? Karena sungguh aku tidak bisa mengingat kejadian itu.

Aku terduduk di pojok bui, di belakang ranjang yang orang-orang itu tempati, tak berani menatap mereka sama sekali. Saat itu aku tidak tahu sampai kapan aku akan berada di sana.

Semingu, dua minggu, hingga seseorang berseragam membawaku ke sebuah tempat pemeriksaan. Aku banyak ditanyai mengenai kejadian itu. Namun, aku tidak tahu harus menjawab apa, karena memang aku tidak ingat sama sekali. Hal itu membuat dua pria berseragam yang berada di seberang meja interogasi meradang.

"Apa kau bisa bicara, hah!" teriak pria berseragam saat mendekatkan wajahnya padaku. Sementara pria dengan mesin tik di hadapannya mengernyitkan dahi menatapku. "Jika kau tak mau bicara, kau akan terus di dalam sana! Paham!"

"Ah, sudahlah. Kita penjarakan saja dia selamanya, sampai dia mau bicara," ujar pria dengan mesin tik itu. Aku tahu itu hamyalah sebuah gertakan saja, mungkin, karena melihatku sebagai bocah remaja yang tak tahu apa-apa.

Aku masih diam. Di dalam pikiranku sebenarnya banyak yang bisa aku sampaikan pada dua pria itu. Namun, entah kenapa semuanya seperti terkunci dalam kepala. Mulut ini engan memberitahu alasan kenapa ibu menyiksaku sedari kecil dan aku tak mau mereka tahu itu. Aku ingin menyimpannya saja, seperti apa yang aku lakukan selama ini. Walaupun, terkadang perasaan itu muncul secara tiba-tiba saat ibu berteriak kembali.

"Baiklah, kalau kau tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kau akan berada di sini selamanya!"

Hari-hari berikutnya masih sama. Mereka menginterogasiku di ruangan yang agak gelap dengan lampu tergantung di langit-langit menjulur ke tengah-tengah meja kayu yang di atasnya berserak lembaran-lembaran kertas. Dan aku masih tak bisa bicara.

Pria berseragam itu muncul dari baik pintu sambil membawa sebuah koran yang tergulung di tangannya. Ia menatapku dan berjalan menghampiri, lalu melemparkan koran itu di hadapanku.

"Baca!" titahnya. Rekannya yang duduk di hadapan mesin tik sempat terkejut dan menatap pria itu seaksn melarangnya memberikan koran ini padaku. Namun, gerik tangannya membuatnya diam seketika.

Aku tak mengerti apa yang dia maksud. Namun, aku menuruti saja apa yang ia perintahkan. Kemudian aku menatap koran yang tergeletak di meja. Aku dapat membaca sebuah tajuk di halaman depannya dengan huruf besar-besar berwarna hitam "DJAHOEL; Seorang Anak yang Tega membunuh Ibu Kandungnya Sendiri". Aku mengernyitkan dahi lalu mulai membaca.

Koran yang terbit tiga minggu lalu–tepatnya satu hari setelah penangkapan– itu memuat berita tentang pembunuhan yang aku lakukan. Sebuah gambar hitam putih yang aku tahu adalah poto ibuku yang tergeletak di samping meja makan dengan ditutupi kain tertera di bagian tengah tulisan itu. Di sisi kiri gambar tersebut terdapat pula poto pisau yang berlumuran darah.

Lihat selengkapnya