Aku sudah berada di sebuah ruangan serba putih. Itu adalah ruang kerja, tetapi sekaligus ruang pemeriksaan seperti yang biasa ada di rumah sakit. Dengan ranjang berukuran panjang dan tirai hijau yang mengelilingi dan sofa yang sedang aku duduki.
"Jadi kau, Djahoel? Muhammad Djahaludin?"
"Iya, Pak.'
Itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Tuan Dodi, seorang ahli Psikolog. Dia terduduk di balik mejanya dan bertanya-tanya padaku sambil terus membaca berkas-berkas yang ia pegang. Kemudian setelah selesai dengan pertanyaan-pertanyaan administratif, dia menutup berkas itu dan mulai bertanya hal lain.
"Bagaimana perasaanmu pada orangtuamu ... ayahmu, ibumu?"
"Ibu?"
Dr. Dodi langsung menatapku. "Iya. Apa yang kau rasakan mengenai ibumu?" Pria berbaju putih itu beranjak dan berjalan, pelan menghampiriku lalu duduk di sofa seberang.
Sejenak aku berpikir. Apa yang aku pikirkan tentang ibuku? Setelah apa yang aku lalui bersama ibu seumur hidupku, apa yang aku rasakan terhadapnya?
"Kasihan ... aku kasihan."
"Kasihan?" Dr. Dodi mengangkat satu alisnya.
"I-i-iya ... kasihan," ucapku yang sempat terbata.
"Apa yang membuatmu kasihan padanya?"
Aku mencoba mencerna pertanyaan itu, apa yang membuatku kasihan pada ibuku? Sesungguhnya, aku tidak tahu. Oh, tunggu. "Aku ingat ibuku pernah menangis di dalam bus saat menuju perjalanan pulang dari pesantren bersamaku. Dia menangis karena orang tua ayah memarahinya. Aku tidak tahu kenapa mereka sangat membenci ibuku. Mungkin, itu alasan aku kasihan padanya."
"Oke."
"Aku tahu kenapa, tapi ... tapi ... aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan itu."
"Oke. Kau kasihan pada ibumu, tapi kau tak tahu kenapa?"