DJAHOEL

Hendra Wiguna
Chapter #13

Kunjungan Ayah dan Kepergian Kawan

Suara gemerincing kunci-kunci terdengar, diikuti suara pintu yang menderit akibat dorongan yang kuat dari luar, dan diteruskan dengan suara yang sama saat mereka membuka pintu lapis kedua yang merupakan pintu masuk kamar isolasi yang sedang kutempati. Seorang petugas penjaga masuk dan memberitahu bahwa aku akan segera pindah dari ruang itu. Aku yang sedang terduduk di tepi kasur langsung berdiri ketika petugas itu memerintahkannya.

Sebenarnya aku sama sekali tidak senang dengan pemindahan itu. Entah kenapa, mungkin untuk satu hal, aku merasa sudah nyaman berada di sana. Satu bulan atau dua bulan? Yang pasti lebih lama saat aku menunggu Dr. Anna datang dari Jerman saat diminta untuk menangani pasien sepertiku untuk pertama kalinya di rumah sakit jiwa itu.

Setelah melalui dua lapis pintu itu, aku digiring berjalan menelusuri lorong untuk keluar dari lantai bawah tanah gedung utama. Begitu sampai di luar mataku terasa sedikit sakit, cahaya itu terlalu terang. Belum sempat aku menutup mataku dengan tangan, petugas itu mendorongku untuk melanjutkan langkah.

"Lekas mandi, ada tamu yang akan berkunjung untuk menjengukmu!" ucap petugas itu saat kami tiba di kamar mandi. Kemudian pria kurus berseragam itu pergi setelah memintaku mendatanginya di sana lima belas menit lagi. Dia menyodorkan pakaian yang harus aku kenakan lalu pergi.

Siapa yang mengunjungiku?

Pertanyaan itu terus muncul saat aku melakukan ritual membersihkan diri dengan air dari pancuran di atas. Hampir setahun aku berada di rumah sakit jiwa itu, baru sekali dikunjungi.

Ayah? Ah, siapa lagi kalau bukan dia. Siapa lagi orang yang mungkin akan datang berkunjung selain keluarga. Dan satu-satunya keluarga yang aku miliki hanya ... beliau.

Aku keluar setelah berpakaian, yang menurutku agak sedikit rapi dan formal, kemudian pergi ke depan gedung. Aku tidak melihat petugas itu, padahal dia sendiri yang menyuruhku menemuinya di sana. Namun, tak lama kemudian, dia datang bersama Dr. Anna.

"Ahmad," sapa Dr. Anna. Sekilas ia tersenyum. Kemudian ia melihat pakaianku dari atas ke bawah, seperti memastikan sesuatu.

"Dr. Anna," pangilku.

"Iya."

"Siapa yang mengunjungiku?"

Dr. Anna sempat melirik petugas itu. "Ayahmu." Jawabannya sudah sangat jelas.

"Ibu, mengeluarkan aku karena ayah menjengukku?"

"Itu bukan perbuatanku, Ahmad." Dr. Anna menatapku tajam, seakan mengetahui bahwa apa yang ada di pikiranku sama dengan yang ada di pikirannya, tentang siapa yang dia maksud. "Oh iya, Ahmad, dia ingin kau tidak menceritakan tentang April, seorang yang kau ... lukai. Juga tentang kau yang masuk ruang isolasi. Ceritakan saja tent–"

"Tenang, Dr. Anna, aku mungkin tidak bicara padanya," potongku. "Aku tidak pandai bercerita."

Dr. Anna menyungingkan senyum. "Oke, baiklah. Ayo pergi sekarang. Ayahmu sudah menunggumu lama." Dengan pakaian putih khasnya itu dia berbalik, memasukkan telapak tangannya ke saku, lalu berjalan mendahuluiku.

Aku berjalan di belakang Dr. Anna dan petugas itu. Hingga akhirnya tiba di gedung depan. Kami melewati ruang-ruang administrasi, beberapa pekerja kantoran terlihat serius mengerjakan sesuatu di belakang mejanya.

Hingga hampir tiba di satu ruang yang kutahu dipergunakan untuk menerima para pengunjung, seketika langkahku terhenti. Aku melihat Dani, kawanku, yang kekasihnya hampir aku bunuh, berdiri di taman bersama dua orang dewasa. Mungkin itu adalah orang tuanya. Aku jadi bertanya-tanya, Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia masih membenciku?

"Ayo, Ahmad," pamggil Dr. Anna.

Kemudian petugas itu menghpiriku untuk membawaku. "Dani. Anak itu akan pulang hari ini," katanya. "Ayo, jalan!" Paksa sang petugas. Rupanya, petugas itu tahu apa yang sedang aku perhatikan.

Dani? Pulang hari ini?

Entah kenapa ada sesuatu yang janggal, ada sesuatu yang belum aku sampaikan padanya. Maaf? Mungkin. Namun, aku yakin dia memaafkan aku, tapi bukan itu. Masih dengan pikiran itu, aku melanjutkan langkah kembali.

   °°°°°

Aku pun memasuki ruangan pertemuan. Tampak di sana ayahku sedang berbincang di kursi sofa yang mengelilingi karpet bercorak merah dengan pria berwajah bule. Itu adalah tuan Moesas. Terlihat juga perempuan berkerudung putih duduk di samping ayahku dan menyadari kedatangan kami.

"Tuan, Bapak Sahlan, apa kabar?" sapa Dr. Anna. Kecuali Tuan Moesas, mereka; ayah dan perempuan berkerudung itu kemudian segera berdiri menyambut kedatangan kami.

"Apa kabar, Bu Dokter?" tanya Ayah.

Selanjutnya, sebuah percakapan basa-basi tak terhindarkan. Tuan Moesas tampak jengah dengan apa yang dia saksikan. Dia melirik Dr. Anna seakan memberitahunya untuk lekas duduk. Sang dokter mengerti lalu segera duduk di samping ayah. Sementara aku masih berdiri.

"Ahmad, Kemari, ayo, sapa ayahmu," ajak Dr. Anna.

Lihat selengkapnya