"Interaksi sosial manusia di kehidupan masyarakat sehari-hari baik antar individu, individu dan kelompok, atau antar kelompok pasti memiliki reaksi kejiwaan. Reaksi itu bisa berupa sikap mental, emosional, minat akan sesuatu, perhatian, memiliki kemauan, motivasi diri, harga diri, hingga terbentuknya kepribadian...."
Suara Dr. Ana menggema ke seluruh ruang pertemuan. Kelima pasien, termasuk aku, tengah antusias memperhatikan apa yang sedang disampaikan sang dokter di depan kami. Begitu pula suster Rida–yang mewakili Dr. Dody– untuk kesekian kalinya tidak bisa menghadiri pertemuan. Perempuan itu sesekali menuliskan sesuatu pada buku catatan miliknya. Pun aku yang sangat tertarik dengan materi yang diberikan Dr. Anna.
Sudah dua Minggu sejak aku menempati kembali kamar miliknya, semenjak itu pula dirinya tidak menulis lagi di buku sebagai media komunikasi dengan Dr. Anna. Aku lebih sering melakukan sesi bicara di kantor sang dokter. Meskipun pada awalnya aku mengalami kesulitan, gagap, tetapi karena pembawaan Dr. Anna yang santai dan lebih menganggap para pasien sebagai teman, membuatku lama-lama menjadi terbiasa dengan berbicara apa yang aku pikirkan atau rasakan.
Kecuali hari Minggu, hampir setiap hari, pada waktu selepas pertemuan dan melakukan aktifitas hariannya sebagai penghuni kamar, aku akan pergi ke kantor untuk melakukan sesi bicara.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan di dalam sana, Ahmad, sering sekali kau berbicara dengan Dr. Anna?" tanya Abraham saat aku sedang melangkah ke luar kamar.
"Hanya bicara padanya, apa ada yang salah?"
"Tidak. Hanya ... aneh saja kau harus melakukannya setiap hari. Kau ingin cepat keluar dari sini?" Abraham menyungging.
"Yang pasti aku tidak ingin selamanya ada di sini." Setelah mengatakan itu aku langsung membuka pintu dan keluar tanpa menutupnya kembali.
Setibanya di depan pintu kantor, aku terkejut ketika melihat pintu terbuka dan Tuan Moesas keluar dari dalam sana. Dia melihatku dengan senyuman khasnya. Aku bingung harus berbuat apa dan hanya menunduk saat dirinya melewatiku. Pria itu pun pergi bersama satu asisten pribadinya yang berjas dan selalu terlihat kaku dengan langkah dari sepatu pantofel pada lantai yang terdengar mengetuk-ngetuk. Kemudian aku bergegas masuk ke kantor Dr. Anna.
"Ahmad, silahkan." Seperti biasanya, Dr. Anna tersenyum menyambut aku. "Apa yang ingin kau bicarakan hari ini Ahmad?" tanyanya.
"Soal apa yang ibu sampaikan tadi di ruang pertemuan, aku ingi bertanya tent–" Aku berhenti bicara saat melihat satu benda yang berdiri di tepi meja dekat dinding, benda yang bagiku tampak asing, dan seperti diarahkan kepadaku. "Apa itu, Bu?" tanyaku penasaran.
Ibu menengok ke arah benda itu, tak jauh di samping kanannya. "Oh, itu kamera."
"Kamera?"
"Kau tidak tahu kamera, Ahmad?"
Aku menggeleng. "Ti-dak."
"Benda ini akan merekam gambar dirimu dan pasien yang sedang berkonsultasi pada ibu. Tuan Moesas yang memasangnya tadi. Ibu juga bingung, kok tiba-tiba dia memasangnya."
"Merekam itu apa?"
"Ah sudahlah, Ahmad, kau akan tahu nanti, sekarang kita lanjutkan pembicaraan kita ... tadi kamu mau bertanya apa?" lanjut Dr. Anna.
Aku yang masih penasaran terus melihat benda itu, ada lampu merah kecil yang sesekali berkedip. "Merekam itu apa?"
"Apa kau pernah menonton film? Atau video?"
"Belum pernah, tapi aku tahu apa itu film."
"Ya itu lah, Ahmad. Benda ini lah yang mengambil gambar-gambar dalam film itu."
Walaupun aku belum benar mengerti, tapi aku mengiyakan saja penjelasan dari Dr. Anna. "Baiklah." Aku berpura-pura mengangguk-angguk.
"Oke, tadi apa yang ingin kau tanyakan?"
"Oh. Hmmm ... tentang, tentang, tentang terbentuknya kepribadian yang ibu maksud di pertemuan tadi siang, Bu. Se-se-sebenarnya ... apa saja faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian, Bu?" tanyaku sedikit terbata-bata.
Dengan lugas tapi santai, Dr. Anna menjelaskan apa yang aku tanyakan. Namun, perhatianku tidak terfokus lagi pada apa yang sang dokter sampaikan, melainkan pada benda asing itu.
Entah kenapa, sejak saat itu bicaraku jadi seperti awal-awal aku melakukan sesi bicara ini; gagap.
°°°°°
Sore itu, selepas berkonsultasi di ruang kerja Dr. Anna, aku memutuskan duduk di bangku taman seperti kebiasaanku dahulu. Kepalaku diliputi pikiran tentang benda itu–kamera–. Benda yang membuatku penasaran. Terlebih tentang apa yang bisa dibuat oleh benda itu: film.