DJAHOEL

Hendra Wiguna
Chapter #16

Tradisi Jamuan Makan Malam

Sore itu, seperti biasanya aku pergi ke taman untuk berdiam diri di sana. Ketika sampai di ujung lorong gedung, aku mendapati pemandangan yang tidak biasa di bangku taman itu, Tuan Moesas sedang duduk di sana, sepertinya memang sengaja menungguku, sebab dia langsung berdiri ketika melihatku, kemudian mengangkat satu tangannya, dan memanggil.

"Ahmad!" Dia berteriak. Mungkin karena jarak yang agak jauh, Tuan Moesas sengaja mengeraskan suara hingga terdengar bukan hanya olehku, tetapi juga oleh orang-orang yang ada di sekitar taman, termasuk Suster Rida dan pasien yang sedang diurusnya.

Aku memaksakan bibirku tersenyum dan mengangguk untuk menyahutnya. Aku tahu akan ada perbincangan yang akan terjadi. Hingga akhirnya dengan langkah dibuat sealami mungkin aku menghampirinya.

"Tuan," sahutku. Telapak tangan yang tampak putih pucat itu lalu bergerak mempersilahkan ke arah bangku, memerintahkan aku untuk di sebelahnya.

Walaupun cuaca tidak terlalu cerah karena langit dihiasi awan-awan yang menghalangi matahari, tetapi suhu di sana masih terasa panas dan membuat pria di sebelahku mengibas-ibaskan telapak tangan. Aku melirik bayangan pohon tak jauh sedikit demi sedikit hampir mengenai ujung bangku yang kami tempati.

"Sebenarnya, ada apa Tuan menungguku di sini?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Panas sekali sore ini, ya, Ahmad," ucap Tuan Moesas.

"Iya, panas." Aku melempar pandang ke koridor gedung di seberang taman. Sepertinya Suster Rida sedang memperhatikan kami. "Tuan, apa ada yang ingin Tuan bicarakan denganku?" tanyaku lagi.

"Oh. Maaf, Ahmad." Tuan Moesas langsung menghentikan kibasan tangannya. Kemudian memposisikan tubuh mengarah padaku. "Iya, ada yang ingin aku katakan padamu."

"Apa itu, Tuan?"

"Aku ingin mengajakmu makan malam, Sabtu malam nanti. Apakah kamu bersedia, Ahmad?"

"Makan malam?"

"Iya, aku mengundangmu untuk makan malam di rumahku, Ahmad," ucapnya sambil tersenyum. Aku pandang wajahnya yang mulai dipenuhi keriput. Berpikir sesuatu tentang undangan itu. Pun demikian dengan Tuan Moesas, dia memandangku sejenak dan menyadari sesuatu. "Oh, tidak, Ahmad. Tidak. Aku tidak sedang mengajakmu berkencan. Ini hanya undangan biasa. Ini hanya ... tradisi," jelasnya.

"Tradisi?"

"Iya. Ini sudah biasa bagi orang yang akan keluar dari rumah sakit ini. Aku akan mengundang siapapun yang sudah dinyatakan sembuh dan akan mengakhiri masa rehabilitasi."

"Berarti ... aku?"

"Iya, sebentar lagi kamu akan mengakhiri masa rehabilitasimu di sini. Ah, sebenarnya ini rahasia dan Dr. Anna yang seharusnya memberitahumu. Aku harap kau tidak memberitahukan undangan ini pada Dr. Anna."

"Kenapa aku tidak boleh memberitahu dia?"

"Ini soal etika, Ahmad."

Aku mengernyit. "Etika? Bukankah dahulu Tuan yang melakukan keputusan sepihak ketika apakah aku harus dikurung di ruang bawah tanah itu atau tidak? Benar-benar tanpa persetujuan Dr. Anna dan Dr. Dodi."

"Dari mana kau tahu itu?"

"Dr. Anna."

"Ah, tentu saja." Pria itu tersenyum. Ia memainkan bola matanya ke atas kemudian mulai berbicara lagi padaku. "Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan padamu."

"Apa?"

"Tradisi itu ... biasanya aku akan mengajak para pasien yang sudah sembuh memakan malam dan menonton film."

"Film?"

"Iya, aku ingin menanyakan film apa yang kamu suka? Aku tanyakan ini sebab film yang sudah ada selalu membuat pasien-pasien itu bosan."

"Maaf, aku tidak mengerti Tuan. Film?"

Tuan Moesas tersenyum. "Baiklah. Cerita seperti apa yang kamu suka. Agar aku bisa membelinya sebelum acara makan malam itu."

"Cerita?"

"Iya. Seperti .. cerita sejarah perang? Komedi jenaka? Atau ... drama romantis?"

Aku terdiam. Aku tidak tahu cerita apa yang sebenarnya aku sukai. Yang kutahu ayah pernah menceritakan tentang para nabi dan sahabat-sahabatnya. "Apa ada film yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim? Yesus? Atau Muhamad?"

"Oh. Kamu suka cerita seperti itu? Baiklah, aku akan membeli video kaset itu," ucapnya. Aku mengangguk.

Video? adalah kata yang tak pernah aku dengar. Namun, ketika Tuan Moesas melirikku, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan mencuat dari kepalaku. "Apa di video itu aku bisa melihat wajah Nabi?"

"Ah, tentu saja, Ahmad," jawabnya dengan tawa terkekeh. "Ah. Ahmad, sebenarnya jika kau suka dengan cerita seperti itu, kau bisa baca buku-buku di rumah saya. Hanya saja, buku itu tidak tertulis dalam bahasa Indonesia, melainkan bahasa Inggris dan Jerman."

Sekali lagi, aku mengangguk pelan, meski sebenarnya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia katakan. Hanya saja, aku sedang tak ingin melanjutkan perbincangan itu. Entah kenapa sesuatu terasa janggal.

Perbincangan terus berlanjut, meski yang terjadi adalah obrolan satu arah dari sang pemilik rumah sakit jiwa itu. Dia terus mengoceh tentang isi buku-buku yang dia miliki karena mungkin menurutnya aku tertarik dengan itu. Sampai bayangan pohon itu sudah meneduhi kami, cerita itu belum juga selesai.


°°°°°

Suara alat makam yang riuh terdengar di ruang meja makan, ditemani obrolan para penghuni gedung. Dr. Dodi dan Dr. Anna yang paling banyak bercerita, bercanda, sedangkan pasien-pasien lainnya sesekali menimpali. Sementara aku hanya terdiam, sibuk dengan makanan yang kusantap. Aku masih berpikir tentang undangan itu.

Dr. Dodi yang menyadari kediamanku bertanya. "Ahmad, kenapa kamu kok diam saja dari tadi?"

"Ah, dia kan memang jarang bicara, Dok," ucap Yoga.

Namun, aku tak begitu menanggapi perkataan salah satu pasien yang duduk di samping Abraham itu, dan hanya tersenyum sekilas pada Dr. Dodi untuk menjawab pertanyaannya.

Dr. Dodi. Sebenarnya ia jarang sekali ikut makan malam di sini. Dia biasanya pulang ke rumahnya setelah bertugas, tapi tidak untuk malam ini. Pria berambut klimis itu sudah mempunyai istri dan anak. Kami bisa memahaminya jika dirinya memilih untuk pulang. Aku pandang wajah pria muda berkacamata itu.

Lihat selengkapnya